Bisnis.com, BADUNG - Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki mengatakan, sektor pertanian sebagai salah satu sektor terbesar di Asean perlu didorong untuk menciptakan bisnis yang inklusif dan berkelanjutan.
Menurutnya, keterlibatan para petani kecil, koperasi, dan UKM memegang peran kunci untuk inklusivitas bisnis di sektor pertanian.
"Praktik bisnis pertanian yang inklusif dan berkelanjutan semakin penting untuk menjamin ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa," ujar Teten dalam Regional Investment Forum for Inclusive in Agriculture and Food Systems, Rabu (29/8/2023).
Dia pun menekankan bahwa bisnis yang inklusif bukan sekadar strategi, melainkan harus menciptakan manfaat nyata yang dapat diakses semua orang hingga kalangan terbawah (base of pyramid). Salah satu hal yang tengah didorong pemerintah, yakni hilirisasi alam, termasuk komoditas pertanian.
Sejumlah komoditas pertanian, seperti kelapa sawit, jahe, kelapa, bambu, dan rotan memiliki potensi nilai tambah untuk masuk dalam rantai pasok industri domestik maupun global.
"Dengan memanfaatkan potensi sektor pertanian, kita dapat mengatasi masalah mendesak seperti pangan dan kemiskinan," tutur Teten.
Baca Juga
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Economic and Social Comission for Asia and the Pacific (ESCAP) Armida Salsiah Alisjahbana menyebut, pandemi Covid-19, perang Rusia dengan Ukraina, dan perubahan iklim telah berdampak negatif terhadap ketahanan pangan dunia. Apalagi adanya tekanan inflasi pada harga pangan dan pupuk juga memengaruhi permintaan dan produksi pangan global.
"Perubahan pola cuaca, kekeringan dan banjir telah mengganggu siklus panen dan perikanan," ungkap Armida dalam kesempatan yang sama.
Oleh karena itu, konsep bisnis yang inklusif di bidang pertanian menjadi lebih penting dari sebelumnya. Menurutnya, bisnis inklusif mampu membekali petani dengan teknologi sehingga meningkatkan produktivitas mereka dalam menghasilkan pangan yang berkelanjutan di tengah ancaman perubahan iklim. Di sisi lain, pendapatan petani juga akan lebih tinggi serta dampak kerugian akan ditekan lebih rendah.
Kendati demikian, Armida menekankan bahwa menciptakan bisnis pertanian yang inklusif membutuhkan investasi tambahan. Adapun, pada 2022, dia menyebut bahwa 7 persen atau US$198 miliar aset yang dikelola di seluruh dunia telah dialokasikan untuk pangan dan pertanian.
Bahkan, investasi global di startup-AgriTech melampaui US$90 miliar pada awal 2021. Sejalan dengan investasi tersebut, Armida menyebut, pendapatan bisnis inklusif di sektor pertanian dan pendapatan petani juga ikut tumbuh.
"Tantangannya sekarang adalah meningkatkan skala dan dampak investasi dalam bisnis yang inklusif secara tepat," ujar Armida.