Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah terlampau optimistis dalam menatap ekonomi kuartal II/2023. Mereka yakin kinerja masih sesuai ekspektasi. Optimisme itu ditopang oleh data-data faktual seperti Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur yang konon masih cukup ekspansif.
Harus diakui, ekonomi Indonesia nyaris tidak ada gejolak kendati kelangkaan pangan akibat cuaca buruk, kinerja ekonomi China serta terhambatnya rantai pasok global karena blokade Laut Hitam oleh Rusia terus mengintai hingga saat ini. Ekonomi Indonesia pada kuartal 1/2023 bahkan masih tumbuh di atas 5 persen.
Data terbaru PMI manufaktur Indonesia pada Juli 2023 berada di zona 53,3 atau mampu melampaui PMI manufaktur sejumlah negara Asean, seperti Malaysia yang masih berada di zona kontraksi 47,8 dan Vietnam di level 48,7, serta Filipina di level 51,9. PMI manufaktur Indonesia juga mampu mengungguli sejumlah negara-negara G20, seperti Rusia (52,1) dan Meksiko (50,9).
"Secara keseluruhan sentimen pelaku usaha di sektor manufaktur Indonesia tetap positif di bulan Juli. Pulihnya permintaan ekspor ke level ekspansif meningkatkan permintaan agregat secara keseluruhan sehingga diharapkan dapat menopang kinerja pertumbuhan ekonomi pada Semester II ini,” jelas Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam siaran resminya, Selasa (1/8/2023).
Namun, jika mengacu data realisasi yang dipublikasikan oleh pemerintah, tanda-tanda pelambatan ekonomi Indonesia sudah ada di pelupuk mata. Ini tentu terlepas dari data pemanis seperti PMI manufaktur yang entah bagaimana cara menghitungnya selalu menempatkan Indonesia di garis ekspansif. Padahal data PMI manufakur seringkali bertentangan dengan kondisi riil yang tampak melalui data-data statistik.
Soal manufaktur, misalnya, sejak 22 bulan terakhir PMI manufaktur Indonesia selalu berada di level ekspansif. Namun kalau menilik data struktur produk domestik bruto (PDB) Indonesia, kontribusi sektor manufaktur justru terus tergerus. Data selama kuartal 1/2023 lalu contohnya, kontribusi manufaktur terhadap PDB hanya 18,57 persen atau lebih rendah dibanding kuartal 1/2022 yang mencapai 19,21 persen.
Baca Juga
Angka yang lebih dramatis sebenarnya bisa ditelusuri dari kinerja manufaktur selama 5 tahun terakhir. Hasilnya menunjukkan bahwa kontribusi sektor manufaktur nyaris tidak pernah kembali lagi ke angka 20 persen. Paparan data statistik itu tentu sulit dibantah. Harus diakui secara teoritis Indonesia mengalami gejala deindustrialisasi dini.
Sayangnya tren pelambatan itu terus berlanjut. Tergerusnya kontribusi manufaktur ke PDB sepertinya juga akan terjadi pada semester 1/2023.
Salah satu indikator penurunan kinerja manufaktur tersebut tampak dari data kinerja ekspor dan impor selama semester 1/2023. Ekspor manufaktur tercatat mencapai kontraksi hingga 10,19 persen c-to-c. Sedangkan impor bahan baku yang menjadi bahan dasar manufaktur Indonesia terpantau mengalami penurunan hingga 11,14 persen dibandingkan semester 1/2022.
Peranan nilai impor bahan baku penolong juga tercatat turun dari 77,55 persen menjadi 73,67 persen. Sebaliknya impor barang modal dan konsumsi justru mengalami kenaikan masing-masing menjadi 8,99 persen dan 17,38 persen.
Tanda-tanda penurunan manufaktur itu juga tampak dari setoran pajak sektoral selama semester 1/2023. Setoran pajak industri pengolahan yang kontribusinya mencapai 27,4 persen terhadap seluruh penerimaan pajak negara, hanya mampu tumbuh 8 persen. Padahal tahun lalu penerimaan dari industri pengolahan tumbuh di angka 51,6 persen.
Penurunan peran dan kinerja impor bahan baku serta seretnya setoran pajak sektor industri adalah sinyal melambatnya kinerja manufaktur pada Semester 1/2023.
Meningkatnya Informalitas
Selain data-data di atas, sinyal deindustrialisasi juga bisa dibaca dari semakin besarnya porsi pekerja informal dalam struktur pekerjaan di Indonesia.
Data BPS mengungkap bahwa jumlah pekerja informal di Indonesia terus mengalami kenaikan. Pada Februari 2020 lalu, jumlah pekerja formal tercatat sebesar 43,36 persen dan sektor informasi sebanyak 56,64 persen. Jumlah pekerja informal naik menjadi 59,62 persen, sedangkan pekerja formal tersisa 40,38 persen pada Februari 2021.
Persentase jumlah pekerja formal terus tergerus pada tahun-tahun setelahnya, pada Februari 2022 BPS mencatat jumlah pekerja formal tersisa menjadi 40,03 persen. Sementara jumlah pekerja informal melejit hingga 59,97 persen.
Tren ini terus berlanjut, kendati pemerintah mengklaim bahwa kondisi perekonomian mulai menunjukan pemulihan dan perlahan lepas dari imbas pandemi Covid-19.
Namun demikian, jika mengacu kepada data BPS per Februari 2023, jumlah pekerja informal malah menembus angka 60,12 persen atau mengalami kenaikan 0,15 persen. Pekerja formal tercatat anjlok menjadi 39,88 persen.
Data mengenai tren peningkatan pekerja informal itu sejalan dengan tren penurunan penduduk yang berstatus sebagai buruh, karyawan dan pegawai.
Berdasarkan data BPS jumlah buruh dalam waktu 3 tahun terakhir mengalami penurunan dari 37,02 persen pada Februari 2021 menjadi 36,72 persen pada Februari 2022, dan turun ke angka 36,34 pada Februari 2023.
Sebaliknya persentase penduduk yang berusaha sendiri terus naik setiap tahunnya. Pada Februari 2021, jumlah orang yang bekerja sendiri sebanyak 19,57 persen naik menjadi 19,84 pada Februari 2022. Pada periode Februari 2023 jumlah orang yang berusaha sendiri menembus angka 20,67 persen.