Bisnis.com, JAKARTA – Pemangkasan peringkat kredit atau utang Amerika Serikat (AS) oleh Fitch Ratings meski belum menunjukkan dampak yang signifikan, berpotensi membuat rupiah melemah.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA (BBCA) David E. Sumual menyampaikan peringkat utang AS yang turun dari AAA menjadi AA+ bukan hal baru dan pernah terjadi pada 2011.
Kala itu, dampak dari kontroversi yang berkepanjangan mengenai peningkatan pagu utang wajib dan risiko gagal bayar AS terjadi dalam waktu yang cukup lama. Mata uang di negara-negara emerging market terdampak, termasuk rupiah, ikut melemah sementara dolar AS justru menguat. Kondisi serupa pun berpotensi kembali terjadi pada tahun ini.
“Sejauh ini belum mengganggu arah pergerakan di pasar modal maupun rupiah kita,” ujarnya, Rabu (2/8/2023).
David menyampaikan memang ada kenaikan yield obligasi dari US Treasury (UST) menjadi 4 persen. Artinya, harga turun dan ada persepsi market bahwa ada peningkatan risiko.
Adanya peningkatan risiko tersebut justru membuat investor lari menuju aset safe haven, yakni yang paling laku aset USD. “Anehnya begini, kalau ada peningkatan risiko, orang malah lari ke safe haven asetnya, yaitu USD, ini justru bisa mendorong pelemahan rupiah,” katanya.
Meski saat ini belum terasa, potensi melemahnya rupiah akan semakin jelas apabila terdapat tekanan dan persepsi yang semakin buruk terhadap kondisi ini.
“Dampak baru akan terlihat kalau lembaga rating lain ikut menurunkan peringkat AS, ekonomi AS semakin buruk dan Fitch Ratings menurunkan lagi dari double A jadi single A,” tutup David.
Pada perdagangan sore hari ini pun rupiah ditutup melemah ke Rp15.175 per dolar AS, turun 0,39 persen atau 59,5 poin.
Di sisi lain, dampak penurunan peringkat utang AS tersebut bukan hanya terhadap rupiah, tetapi juga mempengaruhi perdagangan kedua negara.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad melihat kondisi yang terjadi di AS, dengan kebijakan moneter yang cukup ketat, menahan permintaan impor dari negara lain.
“Saya kira yang kemungkinan terjadi adalah, Indonesia akan semakin terdistorsi terhadap nilai tukar dan ekspor kita ke AS semakin turun,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (2/8/2023).
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya membukukan bahwa kinerja ekspor nonmigas Indonesia terhadap AS sudah terkontraksi pada Juni 2023. Nilai ekspor turun hingga 20,56 persen secara year-on-year (yoy) dari US$2,46 miliar menjadi US$1,96 miliar.
Di samping harga komoditas yang turun, Tauhid melihat ada potensi semakin menurunnya permintaan dari AS ke depan.