Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 akan sulit mencapai target pemerintah kisaran 5,1 – 5,7 persen.
Bahkan, Bhima memprediksi ekonomi Indonesia sulit menyentuh angka 5 persen pada tahun depan.
“Proyeksi di 4,8-4,9 persen untuk year-on-year [yoy], lebih dari 5 persen itu suatu keajaiban,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (26/7/2023).
Proyeksi tersebut, lanjutnya, tercermin dari kinerja ekspor yang semakin melambat dan sudah terlihat sejak tahun ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor Juni 2023 turun cukup dalam sebesar 21,18 persen secara tahunan (yoy). Utamanya terhadap sektor migas dan nonmigas, baik secara tahunan maupun bulanan, seiring dengan penurunan harga komoditas ekspor unggulan.
Hal serupa terjadi pada nilai impor yang juga mengalami penurunan cukup dalam hingga 18,3 persen (yoy), setelah mengalami kenaikan pada bulan sebelumnya. Pasalnya, penurunan nilai impor terjadi pada kelompok migas dan nonmigas.
Baca Juga
Terlepas dari pelemahan tersebut, Indonesia masih mencatatkan prestasi dengan tren surplus yang terjaga selama 38 bulan berturut-turut.
Akumulasi surplus tahun ini mencapai US$19,93 miliar, lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu yang hampir mencapai US$25 miliar.
Lebih lanjut, Bhima mengungkapkan kinerja ekspor pada tahun depan berpotensi terganggu dari adanya kebijakan balasan atau retaliasi dari Amerika Serikat dan Uni Eropa.
"Indonesia mengambil langkah untuk melakukan pelarangan ekspor barang mentah sebagai upaya hilirisasi," imbuhnya.
Uni Eropa saja telah mengajukan banding terhadap Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terhadap pelarangan nikel. Ke depan, pemerintah telah menginstruksikan pelarangan ekspor mineral mentah lainnya.
Di satu sisi, Bhima melihat AS dan Uni Eropa sangat membutuhkan mineral tersebut dalam pembuatan baterai untuk mobil listrik.
Tantangan lainnya, Uni Eropa telah memberlakukan EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) atau UU antideforestasi. Artinya, segala produk yang masuk harus lolos standar lingkungan, seperti supply chain tidak menggunakan PLTU batu bara.
Dalam hal minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO), perkebunan yang digunakan bukan berasal dari hasil deforestasi.
“Ada banyak proteksionisme, akan banyak hambatan dagang yang membuat kita nggak leluasa ekspor. Terlepas dari kondisi demografi di banyak negara sedang decline, inflasi tinggi, mitra dagang utama belum rebound, ini akan jadi tahun berat 2024,” tutupnya.