Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dampak Suku Bunga The Fed dan Perlambatan Ekonomi China ke Indonesia

Ekonom Indef mengungkap dampak kenaikan suku bunga The Fed dan perlambatan ekonomi China terhadap Indonesia.
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Gedung bertingkat di jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. JIBI/Feni Freycinetia
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Gedung bertingkat di jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. JIBI/Feni Freycinetia

Bisnis.com, JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meyakini fundamental ekonomi Indonesia masih kuat dalam menghadapi tekanan tren ekonomi global, bahkan di tengah tekanan suku bunga Federal Reserve (The Fed) dan perlambatan ekonomi China

Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto menilai apabila para raksasa ekonomi dunia sedang mengalami persoalan ekonomi, dampaknya turut mempengaruhi ekonomi global. Namun, dalam konteks pertumbuhan negeri tirai bambu, nyatanya saat ini belum seperti yang diharapkan.

Eko memproyeksikan dalam konteks pertumbuhan ekonomi China, semestinya dapat mencapai sampai 6 persen. Namun, berbagai indikatornya tidak terlihat menuju pertumbuhan yang cukup. Apabila angka pertumbuhan ekonomi ini mengalami revisi di angka 5,5 persen, angka ini pun sebenarnya belum cukup maksimal.

Pasalnya, untuk sekelas negara China, agar dapat pulih, pertumbuhan minimal yang harus dicapai adalah sebesar 7 persen. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang hanya di angka 5 persen saja sudah cukup. Sementara itu, untuk Amerika sendiri, lanjutnya, tingkat inflasinya sudah cukup rendah di angka 3 persen, dan tinggal menanti konsistensi angka tersebut.

Meski gejolak ekonomi global sedang tinggi, Eko meyakini fundamental ekonomi Indonesia masih kuat. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia, Menurut Eko, fenomena ekonomi global tidak langsung berdampak dengan ekonomi Indonesia. Pasalnya, ekonomi Indonesia sumber utamanya adalah domestik yang memungkinkannya akan terus tumbuh dan kebal dengan tekanan dari luar. 

“Indonesia bagaimana? Ekonomi Indonesia driver utamanya adalah domestik. Jadi selama domestiknya masih bisa bergulir, sebetulnya kita masih bisa tumbuh sekitar 4,8 persen. Memang tidak se-impresif pemerintah yang memiliki target 5,3 persen tapi kalau sedikit di bawah 5 persen menurut saya masih mungkin yah, karena mempertimbangkan kelesuan yang terjadi pada tataran ekonomi global,” jelasnya, Senin (13/7/2023). 

Eko juga mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam hal efektifitas pembelanjaan agar mencapai target pajak yang sesuai dari sisi penerimaan.

Terlebih, dia mendorong agar pemerintah melakukan pengeluaran agar anggaran negara segara dapat dipompa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. 

“Sejauh ini ekonomi nasional masih terbilang stabil. Oleh karena itu, sudah saatnya melakukan pengeluaran pemerintah. Anggaran ini harus segera dipompa untuk ke ekonomi riil, dieksekusi di sektor rill untuk kemudian menghasilkan PDB,” tuturnya.

Sementara itu, Co-Founder Tumbuh Makna Fenny Tjahyadi mengatakan bahwa indikator perlambatan ekonomi di Indonesia belum terlihat, meskipun telah terjadi tekanan global kenaikan suku bunga AS.

Salah satu faktor ekonomi Indonesia masih sehat, menurut Fenny, antara lain adalah nilai tukar mata uang Indonesia, yakni rupiah yang masih terbilang stabil di antara nilai tukar mata uang negara lainnya di dunia.  

“Melihat pasar makro di Indonesia pada beberapa bulan terakhir lebih cenderung ke arah positif. Melihat tanda-tanda ini, jadi analisanya adalah perlambatan ekonomi di Indonesia sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi,” jelasnya.

Dia mengatakan hal itu dapat dilihat ketika terjadi inflasi yang mengalami perlambatan pasca libur hari raya waktu itu. Bahkan, pada Juli 2023 inflasi sudah masuk ke rentang target Bank Indonesia. Awal Juli, inflasi Indonesia juga cenderung turun ke level 3,52 persen.

Untuk kategori transportasi mengalami deflasi sebesar 0,1 persen. Sedangkan untuk sektor makanan dan minuman inflasinya melambat di bawah 0,5 persen. Hal ini terjadi karena permintaannya sudah normal kembali pasca libur hari raya dan juga untuk suplainya sudah cukup tinggi. Selain itu, nilai tukar rupiah terbilang masih cukup kondusif di tengah nilai tukar mata uang negara-negara lain yang terimbas.

Seperti diketahui, gejolak perekonomian global masih dalam kondisi tidak pasti. Efek berkepanjangan konflik Rusia dan Ukraina, perang dagang semikonduktor dua kekuatan ekonomi dunia antara Amerika Serikat (AS) dan China, serta krisis energi dunia masih menjadi faktor yang mempengaruhi ekonomi domestik suatu negara.

Bahkan dalam Global Economic Prospects edisi Juni 2023, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju masih akan melambat di level 0,7 persen pada 2023 dari kondisi 2022 yang tumbuh 2,6 persen. Proyeksi ini melihat bahwa masih ada tekanan terhadap negara-negara dari turbulensi ekonomi global yang belum baik. 

Terlebih pada Juni 2023, The Fed menahan suku bunga acuan di rentang 5 persen - 5,25 persen. Keputusan ini dinilai mengakhiri tren kenaikan suku bunga secara beruntun. 

Kenaikan suku bunga tersebut disebut berbagai pihak dalam rangka mencegah inflasi berlebihan dan menjaga stabilitas ekonomi. Pada sisi lain, China  mengalami perlambatan ekonomi yang signifikan dengan hanya membukukan produk domestik bruto (PDB) sebesar 4,5 persen pada kuartal pertama 2023.

Pada April 2023, impor China mengalami kontraksi tajam sebesar 7,9 persen, sementara ekspor hanya 8,5 persen, dibandingkan Maret lalu yang berada pada kisaran 14,8 persen. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper