Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

DPR Minta Pengusaha Smelter Tak Melulu Produksi Olahan Nikel Kelas Dua

Masifnya ekspor nickel pig iron telah menggerus potensi cadangan bijih nikel kadar tinggi atau saprolite secara signifikan.
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — DPR RI meminta pemerintah dan pengusaha smelter untuk mengurangi ekspor dan produksi olahan nikel kelas dua, nickel pig iron (NPI), untuk meningkatkan potensi nilai tambah hilir bijih nikel. 

Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar Bambang Patijaya mengatakan, tren peningkatan ekspor NPI justru makin memperkecil potensi nilai tambah hilir bijih nikel di dalam negeri kendati ekspor bijih nikel telah disetop sejak 2020 lalu.

Menurut Bambang, ekspor NPI yang belakangan masif itu justru lebih berupaya untuk menyelundupkan mineral logam kritis Indonesia ke luar negeri. 

“Kandungan nikel dari NPI itu 10 sampai 12 persen, mohon maaf ini saya tidak setuju, seharusnya pak Dirjen Ilmate [Taufiek Bawazier] tidak boleh lagi produksi NPI dari Indonesia, bagi saya ini adalah penyelundupan gaya baru,” kata Bambang saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (8/6/2023). 

RDP itu turut mengundang 20 direktur utama dan perwakilan perusahaan smelter nikel yang saat ini telah beroperasi di Indonesia. RDP itu membahas secara khusus ihwal tata niaga dari hilirisasi bijih nikel domestik.

Bambang mengatakan, masifnya penjualan ke luar negeri saat ini untuk NPI telah mengoreksi potensi cadangan bijih nikel kadar tinggi atau saprolite secara signifikan. Berdasarkan hitung-hitungan pemerintah dan beberapa asosiasi tambang, cadangan bijih saprolite saat ini relatif terbatas dengan usia efektif di kisaran 10 tahun. 

Di sisi lain, Bambang mengatakan, royalti yang dibayar perusahaan smelter terbilang kecil tanpa memperhitungkan potensi mineral ikutan yang ada pada NPI. Seperti diketahui, NPI didominasi oleh unsur besi dan beberapa unsur lainnya. 

“Ingat ini mineral kritis 10 tahun lagi menurut teori, karena tidak lagi ditemukan cadangan baru ini akan habis, kalau bapak ibu sekalian hanya ingin NPI berarti bapak ibu hanya ingin meloloskan barang ini keluar dari Indonesia dan tidak melakukan hilirisasi lanjutan,” kata dia. 

Dia meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali investasi lama dan baru terkait dengan perusahaan smelter nikel di dalam negeri. Evaluasi itu berkaitan dengan upaya mendorong investasi yang lebih berkualitas dari sisi pengolahan turunan bijih nikel tersebut.

“Kita tidak menginginkan investasi yang sudah terjadi hanya pada NPI, tolong tingkatkanlah,” kami minta juga yang 90 persen sisanya pada produksi NPI itu harus dihitung [sebagai royalti],” kata dia. 

Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) melaporkan torehan ekspor produk turunan bijih nikel telah menyentuh angka US$33,81 miliar atau setara dengan Rp506,13 triliun, asumsi kurs Rp14.970 sepanjang 2022.  

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pertumbuhan ekspor turunan bijih nikel itu juga ditopang oleh penjualan produk turunan dari lini bahan baku baterai kendaraan listrik seperti nikel matte dan mixed hydroxide precipitate (MHP).  

Luhut mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk melanjutkan program hilirisasi bijih nikel hingga nikel matte dan MHP setelah penjualan iron steel naik signifikan lima tahun terakhir.  

“Kita juga sudah mulai dengan nikel matte dan MHP, kita sudah mulai jadi kita tidak hanya tergantung pada hilirisasi nikel iron steel saja,” kata Luhut dalam Acara Saratoga Investment Summit, Jakarta, Kamis (26/1/2023).

Berdasarkan catatan Kemenko Marves, ekspor nikel matte sepanjang tahun lalu sudah menembus di angka US$3,74 miliar atau setara dengan Rp56,34 triliun. Sementara itu, nilai ekspor MHP berhasil mencapai US$2,19 miliar atau setara dengan Rp32,78 triliun. 

Adapun, produksi nikel matte dan MHP domestik itu secara keseluruhan dijual ke pasar China dengan nilai mencapai 3,68 miliar atau setara dengan Rp55,08 triliun. 

Sisanya, penjualan nikel matte dan MHP dilakukan untuk sejumlah pembeli potensial dari Jepang, Korea Selatan hingga Norwegia dengan total pembelian di kisaran US$1,91 miliar atau setara dengan Rp28,59 triliun. 

“Itu sudah kelihatan sekali berbeda dari situ kita sudah mulai berhenti pada iron steel, kita kalau tambah [iron steel] mungkin tidak banyak lagi kita mau masuk pada turunannya sampai lithium baterai,” tuturnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper