Bisnis.com, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) akan mempublikasikan kinerja ekonomi Indonesia selama kuartal 1/2023. Sejumlah ekonom memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh di antara 4,75 persen hingga 5,25 persen.
Namun demikian, jika menilik tren kinerja anggaran, terutama penerimaan pajak pemerintah mengalami pelambatan pertumbuhan dibandingkan dengan kinerja kuartal 1/2022.
Pelambatan penerimaan pajak ini juga mencerminkan kondisi ekonomi Indonesia selama 3 bulan terakhir. Pajak secara teoritis adalah tahap akhir dari proses ekonomi. Seseorang membayar pajak jika sudah menerima penghasilan. Begitupula dengan korporasi akan membayar pajak penghasilan atau PPh badan jika memperoleh keuntungan.
Kalau rugi atau tidak berpenghasilan? Jelas wajib pajak tidak perlu membayar pajak.
Tren pelambatan penerimaan pajak ini tentu menjadi alarm dini bagi pemerintah. Karena ini bisa jadi menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi tidak secemerlang tahun lalu. Data-data penerimaan pajak baik per jenis pajak maupun sektoral mengonfirmasi hal itu.
Penerimaan PPh Badan misalnya dengan kontribusi sebesar 19 persen ke penerimaan pajak hanya mampu tumbuh 69,6 persen. Angka ini lebih rendah secara year on year karena pada kuartal 1/2022 lalu kinerja PPh badan mampu tumbuh sebesar 136 pesen.
Baca Juga
Sementara itu untuk kinerja PPh 21 karyawan tercatat tumbuh tipis dari 18,8 persen menjadi 21,6 persen pada periode kuartal yang sama. Penerimaan PPh karyawan memang cenderung stabil karena prinsip pungutan pajaknya dengan skema withholding tax, artinya tak perlu extra effort atau langkah-langkah strategis lainnya, penerimaan pajak dari karyawan secara otomatis akan mengucur deras ke kas negara.
Adapun PPh orang pribadi atau non karyawan, orang-orang kaya masuk dalam kategori ini, pertumbuhannya dari 13,6 persen pada kuartal 1/2023 melambat ke angka 12,7 persen.
Penerimaan pajak yang meningkat signifikan adalah PPN dalam negeri, dengan kontribusi sebesar 26,4 persen atau paling banyak dibandingkan kontribusi jenis pajak lainnya, mampu tumbuh di angka 67 persen pada kuartal 1/2023. Angka jauh lebih tinggi karena pada periode yang sama tahun lalu hanya tumbuh 27 persen.
Sebaliknya penerimaan PPN impor dan PPh 22 impor justru mengalami pelambatan pertumbuhan yang cukup signifikan. Pada kuartal 1/2023, realisasi penerimaan PPN Impor hanya tercatat sebanyak 10,9 persen. Padahal pada kuartal 1/2022 pertumbuhan PPN impor mencapai 41,8 persen.
Angka yang lebih miris adalah PPh 22 impor. PPh impor pada periode tersebut hanya tumbuh 2,4 persen. Padahal pada kuartal 1/2022, pajak penghasilan impor mampu tumbuh di atas 100 persen bahkan mencapai angka 140 persen.
Pelambatan pertumbuhan PPN Impor dan PPh 22 Impor ini sejalan dengan pelambatan kinerja impor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai impor Januari–Maret 2023 mengalami penurunan US$1.862,0 juta (3,28 persen).
Tren kinerja impor itu dipicu oleh kontraksi importasi bahan baku dan penolong sebesar 6,6 persen atau dari US$43,6 miliar pada kuartal 1/2022 menjadi US$40,7 miliar.
Sekadar catatan impor bahan baku memegang peran 74,24 persen impor nasional. Impor bahan baku penolong lazimnya dilakukan industri untuk mendorong kinerja produksi. Kontraksi importasi bahan baku tersebut baik langsung maupun tak langsung bisa berimplikasi kepada penurunan kinerja industri secara nasional.
Kinerja Pajak Sektoral
Sinyal pelambatan pada kuartal 1/2023 juga bisa ditelusuri dari kinerja penerimaan pajak sektoral. Dua sektor utama yang berkontribusi sekitar 50 persen penerimaan pajak tercatat mengalami pelambatan pertumbuhan.
Sektor manufaktur misalnya dengan kontribusi ke penerimaan pajak sebesar 28,3 persen pada kuartal 1/2023 hanya tumbuh di angka 32,7 persen. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya, mampu tumbuh di angka 44,1 persen.
Sementara itu, sektor perdagangan yang berkontribusi sebanyak 22,7 persen, pertumbuhannya melambat dari 59,4 persen menjadi 17,8 persen pada kuartal 1/2023.
Tren pelambatan juga terjadi di sektor pertambangan dari 150,8 persen menjadi 113,6 persen. Kontribusi sektor pertambangan ke penerimaan pajak mencapai 11 persen.
Itu artinya tiga sektor utama penerimaan pajak yang berkontribusi sekitar 60 persen mengalami pelambatan kinerja pada kuartal 1/2023. Pemicunya ada banyak hal mulai dari kinerja mulai dari harga komoditas yang melandai, restitusi dan surplus neraca dagang yang menciut.
Sementara itu jika mengacu kepada paparan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) beberapa hari lalu, tren stagnasi ekonomi kemungkinan akan berlanjut pada tahun ini. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan berada di angka 5 persen - 5,3 persen.
Satu-satunya pendorong ekonomi, setidaknya dari data realisasi APBN kuartal 1/2023, adalah konsumsi rumah tangga yang ditunjukkan oleh tren penerimaan PPN dalam negeri yang tumbuh 67 persen.
Tetapi inipun tidak sepenuhnya bisa diandalkan karena pada Maret lalu, pertumbuhan PPN dalam negeri melambat menjadi 0,5 persen. Padahal pada Januari 2023 PPN DN mampu tumbuh 144,7 persen dan Februari 91,7 persen.
Sementara itu dari sektor yang lain seperti manufaktur mengalami tantangan dengan penurunan impor bahan baku. Sedangkan sektor perdagangan juga menghadapi hal yang sama karena kinerja ekspor melambat dan impor terkontraksi.