Bisnis.com, JAKARTA — Rasio pajak di Indonesia menjadi salah satu yang terendah di kawasan Asia Tenggara atau Asean dan tertinggal dari Thailand dan Malaysia.
Hal itu disampaikan oleh Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa pada pekan lalu. Hal ini mengacu pada rasio pajak Indonesia yang bertengger di level 10,4 persen pada 2022.
Perolehan tersebut naik dari tahun 2021 yang mencapai 9,12 persen dan tahun 2020 sebesar 8,33 persen. Akan tetapi, capaian rasio pajak itu belum cukup ideal bagi suatu negara. Adapun rasio pajak seharusnya dapat mencapai 15 persen.
“Rasio perpajakan dan Indonesia termasuk yang terendah di kawasan. Rata-rata rasio pajak di dunia 13,5 persen,” ujar Suharso dalam rapat evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan Komisi XI DPR, pekan lalu
Berdasarkan data Bappenas, posisi rasio perpajakan Indonesia berada di level 8,3 persen pada tahun 2020. Posisi ini jauh tertinggal dari Thailand yang membukukan rasio sebesar 14,5 persen, lalu Singapura 12,9 persen, dan Malaysia mencapai 10,9 persen.
Terkait hal tersebut, Pakar Pajak DDTC Darussalam menyebutkan realisasi penerimaan pajak sepanjang tahun lalu yang mencapai Rp1.716,8 triliun baru mencerminkan 60 persen dari total potensi pajak yang dimiliki Indonesia.
Baca Juga
Berlandaskan kajian Asian Development Bank (ADB), dia menyatakan kondisi tersebut mencerminkan upaya negara dalam menggali potensi pajak atau tax effort hanya 0,6 persen.
Hal itu pun membuat rasio pajak atau tax ratio Indonesia masih jauh dari kata ideal, meskipun pada tahun lalu, rasio pajak telah mencapai level digit ganda yakni 10,4 persen.
Darussalam menyampaikan rasio pajak yang ideal bagi suatu negara berkisar di rentang 17 – 18 persen. Artinya, jika rasio pajak negara tidak mencapai angka tersebut, maka negara dinilai tidak mampu melaksanakan pembangunan sesuai dengan program yang telah dicanangkan.
“Apakah angka 10,4 bisa digunakan untuk banyak agenda yang kita perlukan, terutama di tahun ini dan 2024? Misalnya, untuk pembiayaan tahun politik dan sebagainya,” tutur Darussalam.
Oleh karena itu, dia menyatakan bahwa ada tiga sektor potensial untuk mendorong penerimaan pajak Indonesia ke depan. Tiga sektor ini adalah konstruksi, pertambangan, dan pertanian.
Menurutnya, ketiga sektor ini memiliki kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi minim bagi penerimaan pajak negara.
Sektor konstruksi, misalnya, memiliki kontribusi terhadap PDB sebesar 9,8 persen. Namun, kontribusi bagi penerimaan pajak hanya mencapai 4,5 persen. Hal ini dikarenakan sektor konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final.
Sementara itu, sektor pertambangan berkontribusi sebesar 12,2 persen terhadap PDB. Namun, kontribusi pajaknya hanya menyumbang 8,3 persen. Adapun, sektor pertanian menyumbang 12,4 persen kepada PDB, namun sumbangsih terhadap pajak sebesar 1,4 persen.
Darussalam menilai postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2023-2024 diharapkan dapat memenuhi ekspektasi, pemerintah perlu melihat sektor-sektor yang memiliki kontribusi tinggi terhadap PDB, tetapi minim bagi penerimaan pajak.