Bisnis.com, JAKARTA — PT Freeport Indonesia (PTFI) terancam berhenti berproduksi apabila pemerintah tetap ingin menghentikan izin ekspor konsentrat tembaga pada Juni 2023 mendatang. Situasi itu dinilai bakal berdampak serius pada setoran ke kas negara serta perekonomian daerah di sekitar wilayah operasi.
Seperti diketahui, pemerintah belakangan telah menetapkan izin perpanjangan ekspor konsentrat tembaga PTFI dengan kuota mencapai 2,3 juta ton hingga Juni 2023. Keputusan itu disampaikan otoritas perdagangan lewat surat persetujuan ekspor (SPE) yang diterbitkan awal pekan ini.
“Dampaknya kita berhenti produksi, Rp55 triliun pendapatan negara dari produksi kita akan hilang,” kata Presiden Direktur PTFI Tony Wenas saat diskusi bersama dengan pemimpin redaksi media, Jakarta, Jumat (31/3/2023).
Selain itu, kata Tony, berhentinya produksi PTFI akibat moratorium ekspor itu juga bakal berdampak pada serapan tenaga kerja dan setoran pendapatan ke pemerintah daerah. Adapun potensi setoran PTFI ke daerah ditaksir mencapai sekitar Rp8,5 triliun tahun ini.
Di sisi lain, Tony menggarisbawahi, kebijakan moratorium ekspor Juni 2023 justru berdampak serius pada kemajuan pengerjaan smelter kedua milik PTFI di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE, Gresik, Jawa Timur.
“Ini akan mengganggu kami, kita tidak bisa menyelesaikan smelter yang tadi karena uangnya tidak ada, itu potensi pendapatan kita US$9 miliar kira kira sekitar Rp140 triliun,” kata dia.
Baca Juga
Belakangan, dia menuturkan, PTFI bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengkaji peluang untuk menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) terkait dengan upaya memberi ruang relaksasi ekspor pada perusahaan tambang dan pengolahan tembaga di dalam negeri.
Permen itu nantinya dinilai masih sejalan dengan amanat hilirisasi yang tertuang pada Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
“Masih memungkin untuk Menteri ESDM untuk mengatur mana yang boleh ekspor dan mana yang tidak boleh ekspor,” tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan kementeriannya masih mengkaji kemungkinan untuk memberi kelonggaran ekspor bagi PTFI kendati tenggat ekspor sudah diputuskan hingga Juni 2023 lewat SPE yang terbit akhir bulan ini.
“Memang ada faktor yang kita pertimbangkan yaitu masalah keterlambatan disebabkan oleh Covid-19, ini yang sekarang sedang kita finalkan,” kata Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (31/3/2023).
Di sisi lain, Arifin mengakui, moratorium ekspor konsentrat tembaga untuk PTFI mendatang bakal berdampak serius pada sejumlah sendiri perekonomian daerah hingga setoran penerimaan negara dalam jangka panjang.
“Kalau misalnya juga disetop ekspor terus banyak yang terdampak,” kata dia.
Sementara itu, PTFI diketahui menetapkan hitung-hitungan RKAB tahun ini tidak jauh berbeda dengan posisi tahun lalu. Saat itu, penjualan tembaga dan emas berhasil menembus di angka masing-masing 1,58 miliar pound dan 1,8 juta ounce.
Torehan itu lebih tinggi dari pencapaian sepanjang 2021 yang berada di level 1,13 miliar pound untuk penjualan tembaga dan 1,34 juta ounce untuk emas.
Berdasarkan data konsolidasi aset PTFI, produksi tambang untuk tembaga mencapai 1,56 miliar pound sepanjang 2022. Angka itu lebih tinggi dari pencapaian 2021 di posisi 1,33 miliar pound.
Sementara itu, produksi emas berada di kisaran 1,79 juta ounce pada 2022. Adapun, produksi untuk tahun sebelumnya berada di level 1,37 juta ounce.
Adapun, smelter konsentrat tembaga kedua milik PTFI itu sudah menyerap investasi sebesar US$1,63 miliar atau setara dengan Rp24,25 triliun (asumsi kurs Rp14.883 per US$).
Di sisi lain, PTFI memproyeksikan total biaya smelter baru dan ekspansi smelter di kawasan ekonomi khusus itu dapat mencapai US$3 miliar atau sekitar Rp44,64 triliun. PTFI menargetkan konstruksi smelter itu rampung pada Desember 2023.