Bisnis.com, JAKARTA - Hasil penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menemukan banyak penerima bantuan sosial (bansos) yang menggunakan uangnya untuk membeli rokok.
Ketua PKJS UI, Aryana Satrya mengatakan murahnya harga rokok dan penjualan yang bebas menjadi salah satu faktor penerima dana bansos membeli rokok melalui uang tersebut.
Selain itu, dalam survei juga ditemui banyak penerima dana bansos ini memiliki anggota keluarga yang merokok.
“Seringkali ibu-ibu susah menolak jika diminta suaminya membeli rokok, termasuk dengan uang bansos,” jelas Aryana dalam diskusi terkait pengendalian konsumsi rokok pada penerima bansos, Kamis (30/3).
Aryana juga menjelaskan ada banyak tantangan yang dihadapi Pemerintah dalam melarang masyarakat membeli rokok menggunakan dana bansos selain harga yang murah dan bebas dijual.
“Salah satunya, adanya contoh yang dilakukan oleh petugas pendamping dana bansos dari Kementerian Sosial. Petugasnya juga masih merokok di depan penerima bantuan sosial tersebut, ini kan jelas contoh yang tidak baik,” kata Aryana
Baca Juga
Sebenarnya, kata Aryana, Pemerintah telah berupaya untuk mengendalikan rokok melalui Keputusan Menteri Sosial No 175 Tahun 2022 tentang Pengendalian Rokok di Lingkungan Kemensos.
Namun, seringkali ketika di lapangan saat menemui para penerima bansos, para petugas pendamping mengabaikan aturan itu. Untuk itu, perlu ada pengawasan bahkan sanksi bagi petugas yang ketahuan merokok.
PKJS UI menyarankan prasyarat tidak merokok atau bersedia berhenti merokok sebagai salah satu persyaratan pemberian bansos. Selain itu, bisa juga digunakan skema insentif dan disinsentif.
Insentif akan diberikan pada penerima bansos jika berhasil membuktikan berhenti merokok dan disinsentif dapat diberikan pada penerima yang merokok.
"Jadi disinsentif semacam dikurangi dan pemberlakuan pemutusan jika melakukan pelanggaran setelah diberi peringatan beberapa kali misalnya," ujarnya.
Aryana menambahkan, meski peluang disalahgunakan besar, pemberian bansos secara tunai masih lebih baik dibandingkan sistem non-tunai atau dalam bentuk barang yang memakan biaya besar untuk distribusinya.
Dia juga menyarankan agar pemerintah menginisiasi studi pilot project kolaborasi kegiatan Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2) dan kegiatan integrasi klinik UBM di puskesmas dengan kunjungan dari Kader Pembangunan Manusia (KPM).
“Saran lainnya adalah pemerintah melarang total iklan, promosi, dan sponsor rokok dan pemerintah mengidentifikasi lebih lanjut upaya monitoring yang lebih efektif,” ujarnya.