Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) menilai para mafia besar penyelundup peredaran pakaian bekas tidak ada yang dikenai sanksi. Sebaliknya, pedagang kecil eceran justru mendapat sanksi.
Ketua Akses Suroto mengatakan bahwa tindakan dramatis pemerintah terutama Kementerian Perdagangan soal pelarangan peredaran pakaian bekas terlihat hanya menjadikan rakyat kecil sebagai korban.
Mereka yang jadi korban terutama adalah pengecer yang sudah gantungkan pendapatan dari penjualan barang bekas impor dan pelaku industri rumahan atau home industri. terutama produk tekstil.
"Pedagang kecil ecerannya yang dikenai sanksi, sementara para mafia besar penyelundup peredaran pakaian bekas tidak ada yang dikenai sanksi. Padahal barangnya mudah sekali dilacak karena diperdagangkan secara terbuka dan vulgar. Jadi ini artinya ada indikasi permainan," ujarnya, Selasa (28/3/2023).
Sementara itu, Suroto juga menyebut bahwa industri kecil tekstil domestik yang secara dukungan penciptaan ekosistem oleh pemerintah lemah juga semakin terpenetrasi oleh produk impor dari China yang sudah menguasai pangsa pasar hingga 80 persen.
"Jadi kebijakan ini sebetulnya yang menangguk untung adalah para importir produk legal terutama dari China, bukan industri kecil sebagaimana yang dinarasikan pemerintah," tekannya.
Menuritnya, tindakan pemerintah terlihat represif dan penuh drama pada rakyat kecil karena mereka tak berdaya. Bahkan dilakukan saat krisis dan menjelang lebaran yang semestinya mereka mendapatkan tambahan pemasukan.
Sementara itu mafia besarnya yang menyelundupkan barang bekas melenggang dan para impotir besar barang legal dari China juga menjadi potensi menangguk untung semakin besar.
Dia juga berpendapat peraturan Permendag yang mengatur soal impor barang bekas memang terlihat juga dibuat lemah. Sanksinya adminiatratif saja, sementara bagi penyeludup import barang bekas tidak ada yang tertangkap.
"Kami mencurigai karena barang bekas import itu masif, jadi kemungkinan masuk lewat jalur resmi juga selain jalur tikus dan baiknya," katanya.
Sisi lain, praktik peredaran pakaian bekas dan barang bekas untuk dijual kembali atau thrifting dinilai merugikan industri tenun rumahan karena bertolak belakang dengan slogan yang selama ini didengungkan oleh pemerintah, yakni cinta dan bangga buatan Indonesia.
Hal ini yang dirasakan oleh Mee -Mee, pelaku usaha kreatif tenun rumahan dengan merek Tenun by Moi. Dia mulai mengolah tenun nusantara menjadi baju siap pakai pada awal pandemi.
Ruang kerja usahanya atau workshop ada di rumahnya yang terletak di perumahan Villa Duta, Bogor, Jawa Barat.
Dia pun telah sukses memasarkan produknya hingga ke Bali dan berhasil diterima di Clubmed dan Grand Hyatt. Di luar itu, penjualan dilakukan dari mulut ke mulut, pesanan yang berulang dari langganan fanatik, dan melakukan pameran setidaknya sebanyak 2 kali dalam setahun.
Selain sebagai pelaku UMKM, dia juga merupakan konsumen setia busana khas Nusantara karena memiliki hobi mengenakan dan mengoleksinya. Kebanggaannya terhadap pakaian khas Indonesia sekaligus bisa ikut melestarikan kekayaan nusantara, membantu pengrajin tenun yang ada di daerah
Menurutnya, nilai seni, fesyen atau busana dari kain tenun jelas bernilai jual tinggi. Hal itulah yang membuatnya ikut geram dengan maraknya isu thrifting karena dapat mengancam pasar produk kerajinan hasil Nusantara.
"Dengan maraknya isu thrifting bisa merugikan pelaku UMKM, karena harga yang ditawarkan biasanya sangat murah, namanya juga barang bekas pakai. Di tengah daya beli yang lemah dampak pandemi panjang, adanya barang murah bisa menjadi daya tarik untuk sebagian masyarakat kita. Peran pemerintah sangat menentukan dalam hal ini, untuk membuat peraturan yang tegas," katanya.
Dia berpendapat persoalan tersebut juga timbul karena terlambatnya edukasi kepada masyarakat dan aksi thrifting keburu marak dengan masifnya media sosial.
Dampak langsung thrifting memang tidak secara langsung dirasakan olehnya, karena memiliki target pasar yang berbeda.
"Tapi sebagai pegiat 'bangga produk Indonesia, miris melihat sebagian masyarakat bangga memamerkan thrifting di sosmed. Ini barang bekas dari negara lain lho, Martabat bangsa serasa sangat direndahkan," tuturnya.
Dia berpendapat saat ini sudah banyak produk lokal yang luar biasa bagus. Dari sisi pemerintah juga sudah memberi ruang untuk memamerkan produk-produk Indonesia.
Indonesia, sebutnya, juga sudah memiliki banyak pengalaman dalam memproduksi brand-brand luar negeri. Nike, Marks & Spencer. Bahkan karya-karya desainer ternama dunia sejak lama diproduksi di Bali.
Mee-Mee pun menyoroti tumpukan pekerjaan rumah pemerintah yang belum terselesaikan untuk para pelaku UMKM. Terlebih, pasca pandemi, dia melihat masih banyak kios-kios di ruang ritel yang justru kosong. Misalnya saja, seperti di Thamrin City, yang selama ini dikenal sebagai pusat batik dan tenun.
"Ditambah dengan gempuran thrifting, Ini PR pemerintah, untuk barangkali kembali membantu dan mendorong bisnis UMKM. Misalnya dengan memberikan sewa yang lebih murah atau bahkan gratis,"
Sejauh ini, dia memaparkan tantangan terbesar pelaku UMKM untuk bertumbuh masih di persoalan permodalan sehingga membutuhkan dukungan lebih dari pemerintah untuk memfasilitasi keberadaan pameran-pameran.
"Tenun dan batik Indonesia tetap unggul dibandingkan dengan produk-produk impor. Tapi perlu banyak pameran, banyak event untuk terus mengangkat produk-produk ini baik di dalam maupun luar negeri," tekannya.