Bisnis.com, JAKARTA — Platform kecerdasan buatan atau artificial intelligence ChatGPT menyajikan berbagai informasi hingga mampu berdialog dengan manusia melalui fitur percakapan atau chat. Bisnis menjajaki platform itu untuk melihat informasi terkait Rafael Alun Trisambodo, pejabat Ditjen Pajak yang berada dalam pusaran kasus.
Platform artificial intelligence (AI) ChatGPT mempelajari pola bahasa manusia dari sumber-sumber di internet untuk bisa menghasilkan teks. Dengan pendekatan deep learning, chatbot di ChatGPT secara otomatis dapat memberikan respons berupa teks atas instruksi atau pertanyaan dari penggunanya.
Bisnis mencoba percakapan ChatGPT untuk melihat informasi apa yang tersedia di platform itu mengenai Rafael Alun Trisambodo, mantan pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan yang menjadi sorotan akibat kekayaan dan tindakan penganiayaan oleh anaknya. ChatGPT menunjukkan sejumlah informasi menarik.
Bisnis menuliskan pertanyaan 'siapa Rafael Alun Trisambodo?'. ChatGPT menjawab bahwa sebagai model bahasa AI, ChatGPT tidak memiliki akses informasi tentang individu termasuk Rafael Alun.
Namun, setelah diberi respons bahwa dia merupakan pejabat pajak di Indonesia, ChatGPT menyatakan bahwa Rafael merupakan pegawai negeri sipil (PNS) Ditjen Pajak.
"Setelah saya melakukan pencarian, Rafael Alun Trisambodo adalah seorang pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Saat ini, saya tidak memiliki informasi lebih lanjut tentang peran atau tanggung jawab spesifik yang diemban oleh Rafael Alun Trisambodo di Direktorat Jenderal Pajak," dikutip dari dialog Bisnis dengan ChatGPT, Selasa (7/3/2023).
Bisnis memasukkan kata kunci 'kasus Rafael Alun Trisambodo', tetapi ChatGPT tidak dapat menemukan informasi terbaru mengenai kasus apapun yang melibatkan nama itu. ChatGPT justru menyarankan agar mencari informasi itu dari sumber-sumber berita atau media terpercaya di Indonesia.
"Ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa beberapa kasus hukum dan investigasi pribadi dapat dilakukan secara rahasia atau tidak tersedia untuk umum," dikutip dari dialog ChatGPT.
Bisnis kemudian menanyakan 'apakah pejabat pemerintahan boleh menunjukkan gaya hidup mewah?' dan ChatGPT memberikan jawaban 162 kata. Berikut jawaban dari ChatGPT atas pertanyaan tersebut:
Secara hukum, para pejabat pemerintah di Indonesia tidak dilarang menunjukkan gaya hidup mewah. Namun, dalam praktiknya, para pejabat pemerintah di Indonesia diwajibkan untuk mendeklarasikan harta kekayaan mereka setiap tahun, dan harta kekayaan yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya dapat menyebabkan penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain itu, Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi juga mengatur tentang larangan gratifikasi, di mana para pejabat pemerintah dilarang menerima hadiah, pemberian, atau janji dari pihak lain yang dapat mempengaruhi tindakan mereka selaku pejabat pemerintah.
Dalam beberapa tahun terakhir, KPK juga telah meningkatkan upaya mereka dalam melakukan pencegahan dan pengawasan terhadap kemungkinan korupsi dan pelanggaran etika oleh para pejabat pemerintah, termasuk dengan memeriksa deklarasi harta kekayaan para pejabat pemerintah dan melakukan investigasi pada kekayaan atau aset yang tidak sejalan dengan penghasilan resmi mereka. Namun, pada umumnya, keberadaan gaya hidup mewah dari para pejabat pemerintah di Indonesia masih menjadi masalah yang kontroversial dan sering kali menjadi topik diskusi di kalangan publik.
Baca Juga
Bisnis menanyakan 'apa hukuman bagi pejabat pemerintah yang tidak melaporkan LHKPN dengan benar?' dan berikut jawaban ChatGPT:
Jika seorang pejabat pemerintah tidak melaporkan LHKPN dengan benar atau tidak melaporkan harta kekayaan yang dimiliki dengan jujur, maka pejabat tersebut dapat dikenakan sanksi administratif, sanksi pidana, atau keduanya.
Sanksi administratif yang dapat diberikan kepada pejabat pemerintah yang tidak melaporkan LHKPN dengan benar dapat berupa teguran, pencatatan dalam catatan kepegawaian, penurunan pangkat, dan/atau pemberhentian dari jabatan.
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pejabat pemerintah yang tidak melaporkan LHKPN dengan benar berupa pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200 juta, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi.
Selain itu, jika terbukti ada indikasi tindak pidana korupsi dalam hal pengisian atau pelaporan LHKPN, pejabat pemerintah tersebut juga dapat dikenakan sanksi pidana yang lebih berat, seperti penjara dan denda yang lebih besar.