Bisnis.com,JAKARTA - Pemerintah menyiapkan sejumlah strategi untuk mengantisipasi ancaman krisis air global yang bisa berujung pada krisis pangan dunia seperti yang telah diperingatkan oleh PBB pada 2021.
Menurut laporan World Meteorological Organization (WMO), jumlah orang dengan akses yang tidak memadai ke air bersih diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 5 miliar pada 2050 mendatang.
Dalam Forum Merdeka Barat 9 pada, Senin (20/2/2023), Kepala Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menjelaskan dari data WMO ini akan terjadi kekeringan di satu tempat, dan akan terjadi banjir di tempat lain.
“Kondisi itu bisa melanda negara berkembang dan negara , jadi tidak peduli negara manapun, semuanya sama akan terkena dampak dari pemanasan global yang terjadi,” katanya.
Dia menjelaskan, cuaca ekstrem yang terjadi dalam beberapa tahun terakhi ini terjadi karena dampak dari pemanasan global gas rumah kaca yang meningkat di berbagai belahan dunia. Secara global, telah terjadi peningkatan suhu udara permukaan hingga 1,2 derajat celsius, sedangkan di Indonesia terjadi peningkatan suhu udara 1 derajat celsius.
Pada 2020 - 2022 ini Indonesia pun mengalami peningkatan curah hujan tinggi mencapai 70 persen - 100 persen. Pada Juli - September 2023 juga diprediksi akan mengalami kemarau yang lebih kering dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Baca Juga
“Untuk itu diperlukan upaya-upaya mengelola air, karena air sangat penting untuk ketahanan pangan. Sebab kita tidak bisa berharap pada impor pangan dari negara lain karena negara lain juga kesulitan, belum lagi kalau ada perang akan semakin parah kondisinya,” katanya.
Dalam manajemen pengelolaan air, BMKG telah menyiapkan sejumlah strategi hulu berbasis data dan prediksi, di antaranya seperti melakukan penerapan teknologi modifikasi cuaca yakni memaksa hujan untuk turun ke waduk-waduk dan membasahi hutan-hutan dan lahan kering, sehingga ketika terjadi kemarau air hujan telah tertampung dalam waduk.
“Modifikasi teknologi saat musim hujan seperti ini, kita berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian PUPR yang merancang sumur-sumur bor,” jelas Dwikorita.
Selain itu, lanjutnya, diperlukan pengelolaan berbasis komunitas atau keterlibatan masyarakat, misalnya seperti petani di Gunung Kidul yang saat ini mulai membuat bendungan di sungai untuk menampung air hujan saat ini.
“Petani juga merancang, nanti Juni ketika Musim kering, jenis tanaman apa yang akan ditanam. Jadi selain science based yang diintegrasikan dengan infrastructure development, solusi antisipasi juga dari gotong-royong masyarakat,” imbuhnya.
Juru Bicara Kementerian PUPR Endra S. Atmawidjaja, mengatakan tantangan terbesar masalah air selain dari perubahan iklim ialah urbanisasi dan penambahan jumlah penduduk yang sangat cepat. Pada tahun 2000, penduduk dunia yang sudah di tinggal di perkotaan mencapai 50 persen dan sekarang sudah mendekati 60 persen.
“Dengan kondisi yang kita alami, ada jumlah peningkatan pemakaian air, tetapi airnya itu-itu saja dari danau, waduk dan mata air juga banyak berkurang bahkan hilang. Sehingga perlu upaya serius yang kita lakukan dengan urbanisasi pesat dan perubahan iklim supaya ada keberlanjutan pangan sebagai kebutuhan dasar manusia,” ujarnya.
Kementerian PUPR sendiri dalam beberapa tahun terakhir telah merancang pembangunan sebanyak 61 bendungan. Hingga kini sebanyak 36 bendungan sudah rampung, dan 25 bendungan sedang dalam konstruksi dan ditargetkan rampung pada 2024.
Adapun pada tahun depan direncanakan akan ada gelaran 10th World Water Forum yang akan diselenggarakan di Bali dengan mengangkat tema besar Water for Shared Prosperity atau air untuk kesejahteraan bersama.
Dari tema besar tersebut diturunkan sub-tema yakni conservation for sustainable development, equity for sustainable development, disaster management for global water, cooperation and participation water resources, science and technology for water management, and water innovative finance.
Endra menjelaskan Bali dipilih sebagai lokasi pelaksanaan forum dunia dengan 36 negara anggota ini,karena Bali dinilai memiliki infrastruktur yang lengkap, termasuk akomodasi wisata serta mampu menampung 30.000 orang sekaligus setingkat dengan gelaran G20.
“Selain itu, Bali secara tradisi punya tata kelola air yang sudah dikenal dengan sebutan Subak, yang juga masuk dalam World Heritage Unesco. Ini juga jadi kesempatan dunia untuk belajar pengelolaan air melalui unsur budaya,” imbuh Endra.