Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jual Gas US$6, Margin PGN (PGAS) Berpotensi Tergerus hingga Rp11,74 Triliun

Gross margin PT Perusahaan Gas Negara Tbk. atau PGN (PGAS) berpotensi tergerus hingga Rp11,74 triliun imbas kebijakan harga gas bumi tertentu US$6 per MMBTU
Petugas mengawasi pipa gas PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN). Istimewa/PGN
Petugas mengawasi pipa gas PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN). Istimewa/PGN

Bisnis.com, JAKARTA — PT Perusahaan Gas Negara Tbk. atau PGN (PGAS) melaporkan adanya penurunan margin kotor atau gross profit margin yang signifikan imbas kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk tujuh industri yang dipatok maksimal US$6 per MMBTU.

Direktur Utama PGN Muhammad Haryo Yunianto menyampaikan bahwa berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sampai dengan 2021, penurunan margin kotor dari penjualan gas PGAS mencapai US$226 juta atau setara dengan Rp3,38 triliun (asumsi kurs Rp14.979 per US$).

“Penerapan HGBT mulai dari 2020 sampai 2024, kalau ini dilakukan semua dan kami sudah layani 100 persen dari total  pelayanan kami, ada potensi penurunan gross margin di subholding gas sebesar US$784 juta [setara Rp11,74 triliun),” kata Haryo dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII di DPR, Jakarta, Selasa (31/1/2023). 

Adapun, PGN telah menyalurkan gas bumi kepada 65 kawasan industri atau setara dengan 52 persen dari total 126 kawasan industri yang beroperasi di Indonesia saat ini. Total niaga PGN di kawasan industri itu mencapai 645 pelanggan dengan besaran gas mencapai 140 BBTUD saat ini. 

Sementara itu, rata-rata penjualan gas di luar tujuh industri penerima HGBT berada di kisaran US$8 hingga US$9 per MMBTU. Dengan demikian, terdapat selisih harga jual yang cukup signifikan dari harga keekonomian dengan HGBT yang dipatok US$6 per MMBTU kepada tujuh industri penerima tersebut. 

“Ada isu pengembangan enam sektor [penerima HGBT], kalau ini dikembangkan lebih lagi mungkin bagian negara mengalami penurunan juga karena hulunya juga berkurang,” tutur Haryo.

Seperti diberitakan sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melaporkan terdapat enam kasus ketidakcukupan penerimaan negara dari enam wilayah kerja minyak dan gas (migas) selama 3 tahun terakhir. Hal itu lantaran tingginya harga jual gas dari kontrak awal yang disepakati. 

Vice President Lingkungan Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Rayendra Sidik mengatakan, pemerintah mesti mengurangi penerimaan negara yang diperhitungkan melalui bagi hasil sesuai kontrak kerja sama untuk tetap menjaga pengembalian investasi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) saat ongkos produksi naik tajam saat itu. 

“Si kontraktor itu kan, dia enggak mau turun penerimaannya karena mereka ada minimal return yang mereka ambil saat investasi itu dilakukan,” kata Rayendra saat Forum Diskusi Indonesian Gas Society, Jakarta, Rabu (26/10/2022).

Adapun, pemerintah mengurangi penerimaannya pada WK Sebuku, Muara Bakau & WK Rapak, WK NSO dan WK Ketapang sepanjang 2021. Sementara pada 2022, pemerintah mengurangi penerimaannya untuk WK Tangguh dan WK Ketapang. 

“WK Tangguh dan WK Ketapang ini disebabkan karena harga minyak yang naik sehingga harga jual sesuai kontrak itu lebih tinggi dari tahun sebelumnya ini yang jadi pertimbangan,” kata dia.  

Menurut dia, skema pengurangan bagian penerimaan negara akan diambil juga saat kontraktor merasa ongkos produksi gas mereka lebih mahal dari kebijakan harga jual gas tertentu (HGBT) yang dipatok US$6 per million British thermal units (MMBtu).  

Kendati demikian, dia mengatakan, skema HGBT itu diharapkan dapat memberi tolok ukur harga yang adil untuk pengembangan rantai pasok industri dari hulu hingga hilir di dalam negeri. Dia berpendapat HGBT dapat menjadi panduan untuk penetapan harga yang kompetitif antara industri di tingkat hulu serta turunannya.  

“Kami juga tidak membiarkan internal rate of return-nya [IRR] tinggi sekali, ini akan jadi benchmark karena ada juga beberapa kontraktor yang IRR-nya rendah sekali, intinya kita terbuka untuk diskusi,” tuturnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper