Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) memperkirakan kinerja sektor industri pengolahan Indonesia akan menguat pada kuartal I/2023 dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Hal ini tercermin dari Prompt Manufacturing Index (PMI) BI kuartal I/2023 yang diperkirakan mencapai 53,30 persen, lebih tinggi dari 50,06 pada kuartal IV/2022.
Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryoo menyampaikan bahwa seluruh subsektor industri pengolahan diperkirakan berada pada fase ekspansi dengan indeks tertinggi pada subsektor tekstil, barang kulit, dan alas kaki.
“Subsektor lain yang tercatat meningkat adalah subsektor barang kayu dan hasil hutan lainnya, pupuk, kimia, dan barang dari karet, serta logam dasar besi dan baja,” katanya dalam keterangan resmi, Jumat (13/1/2023).
Sementara berdasarkan komponen pembentuknya, seluruh komponen tercatat membaik, di mana peningkatan tertinggi pada volume produksi, volume total pesanan, dan volume persediaan barang jadi.
Perkiraan PMI BI kuartal I/2023 yang tumbuh meningkat tersebut sejalan dengan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), yang mencatat perkiraan saldo bersih tertimbang (SBT) kegiatan usaha industri pengolahan terakselerasi menjadi 2,89 persen pada kuartal I/2023, dari 1,04 persen pada kuartal IV/2022.
Baca Juga
Adapun, pada kuartal IV/2022, PMI BI tercatat sebesar 50,06 persen, lebih rendah dari 53,71 persen pada kuartal sebelumnya, meski masih dalam fase ekspansi.
Subsektor yang mengalami penurunan dan berada pada fase kontraksi adalah barang kayu dan hasil hutan lainnya, logam dasar besi dan baja, serta pupuk, kimia, dan barang dari karet.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyampaikan bahwa perlambatan kinerja manufaktur pada kuartal keempat 2022 sesuai dengan prediksi karena industri manufaktur pada periode tersebut mengalami tekanan dari sisi produksi, sejalan dengan laju inflasi yang meningkat tinggi.
“Karena inflasi yang naik tinggi mempengaruhi biaya energi, tarif listrik, logistik, hingga biaya untuk perolehan bahan baku impor,” katanya kepada Bisnis, Jumat (13/1/2023).
Di sisi lain, perlambatan juga dipengaruhi oleh tertahannya permintaan dari luar negeri, terutama dari negara yang mengalami perlambatan ekonomi atau terancam resesi, seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa.
Pada kuartal I/2023, Faisal memperkirakan kinerja sektor manufaktur di dalam negeri masih dibayangi oleh sejumlah tantangan, terutama ancaman perlambatan ekonomi global yang meningkat di tahun ini. Menurutnya, perkiraan BI terlalu optimistis.
“Saya sendiri tidak yakin PMI akan naik setinggi itu pada kuartal I/2023. Walaupun tekanan inflasi tidak sebesar tahun lalu, tapi masih ada scarring effect dari sisi permintaan,” jelasnya.
Menurutnya, permintaan dari industri di dalam negeri kemungkinan masih kuat. Namun, untuk yang berorientasi ekspor, yang pasarnya seperti negara AS dan Uni Eropa, masih berpotensi mengalami tekanan.
Selain itu, terdapat faktor pendukung lainnya, yaitu permintaan yang diperkirakan meningkat dari China, negara mitra dagang terbesar Indonesia, sejalan dengan pelonggaran kebijakan zero Covid-19 policy di negara itu.
“Pelonggaran kebijakan zero Covid-19 policy akan menaikkan permintaan dari china, mengingat China adalah mitra dagang terbesar Indonesia dan banyak industri manufaktur yang berorientasi ke sana, tapi saya juga belum yakin PMI akan mencapai 53,30 pada kuartal I/2023,” kata Faisal.