Bisnis.com, JAKARTA - Asap rokok masih ngepul! Kalimat ini pernah menghiasi berbagai media yang merespons kenaikan tarif cukai rokok sekitar 10 tahun lalu.
Dan benar sehari seusai pengumuman pemerintah, melejitlah saham PT Gudang Garam (GGRM) dan PT. HM. Sampoerna (HMSP). Sepuluh tahun lalu listing saham bluechip selalu ada emiten dua nama emiten HMSP dan GGRM. Dua emiten tersebut selalu direkomendasikan manajer investasi kepada trader pemula dengan dua hal: dividen dan potensi capaital gain.
Masa keemasan emiten HMSP adalah bulan januari 2018. Per lembar sahamnya di kisaran Rp5.500. Ini setara Rp137.500 per saham sebelum stock split dengan konversi Rp25 per saham. Angka ini tertinggi sepanjang HMSP listing di bursa. Demikian halnya GGRM, meski bukan angka tertinggi dalam sejarahnya Rp101.200, bulan tersebut saham GGRM di kisaran Rp86.300.
Volatilitas kedua emiten selama sepuluh tahun adalah mengikuti normal curve yakni menanjak diawal kemudian mencapai puncak tahun 2018 kemudian turun ke lembah dan tahun 2022 mendekati harga tahun 2011. Trader yang hanya mengandalkan technical analysis bisa jadi mengambil opsi “buy”. Apalagi jika melihat pola bulanan biasanya harga saham akan kembali harga normal sekitar Februari tahun berikutnya. Ini jika pengumuman kenaikan tarif cukai bulan Oktober—Nopember.
Jika rekomendasi opsi Buy dilakukan 5 tahun lalu barang kali trader akan mendapatkan capital gain. Untuk kedepan perlu melihat aspek fundamental kedua emiten mengingat patern harga saham “buyar” sejak pemberlakuan kenaikan tarif cukai 23% dan harga 35% secara rerata tahun 2020.
Disamping itu adanya Covid-19 yang merontokan semua sektor ekonomi dan juga distribusi makin membuat acak pergerakan sahamnya. Meski sumbangan ke negara “mengilap” untuk periode 2020—2021, dari kinerja emitennya tak semoncer cukainya.
Emiten GGRM pada tahun 2021 berhasil membukukan net income sebesar Rp5,6 triliun, menurun -26,31% dari tahun 2020 sebesar Rp7,6 triliun. Dibanding tahun 2019 persentase turunnya sangat ekstrem yakni -48,14% dari angka Rp10,8 triliun rupiah. Hal yang sama juga terjadi pada emiten HMSP. Tahun 2019 net income HMSP mencapai Rp13,7 triliun rupiah sedangkan 2021 hanya Rp7,1 triliun atau mengalami penurunan sebesar -48,17% selama 2 tahun. Untuk kuartal 3 tahun 2022 net income HMSP Rp4,9 triliun atau menurun -10,9% dari tahun 2021 yang membukukan Rp5,5 triliun. Emiten GGRM lebih suffer lagi karena turun -34,1% menjadi Rp1,4 triliun dibanding tahun 2022 Rp4,1 triliun.
Paradoksnya dari kedua emiten adalah kinerja total sales-nya sama sama naik. HMSP naik 14,5% dari Rp72,5 triliun tahun 2021 menjadi Rp83,3 triliun tahun 2022.GGRM mengalami kenaikan tipis 1,9% menjadi Rp93.9 triliun dari Rp92,1 triliun pada tahun 2021. Kinerjanya sama sama turun total salesnya sama sama naik meski GGRM tipis angkanya. Meski beban kenaikan cukai sama yang akan menjadi construction cost pada harga jual produknya, tetapi efek dilapangan berbeda. Faktor operational expenses sangat mungkin berbeda. Namun, itu tak akan menjadi faktor dominan.
Seperti disampaikan banyak pihak setoran ke negara kedua emiten adalah cukai, pajak rokok dan PPN HT porsinya hingga 60%—70%. Dan bagaimana me-manage di market untuk kinerjanya bergantung jualan produknya di bawah atau diatas administered price atau kita kenal Harga Juael Eceran (HJE). Daya beli ke produk rokok yang “melted” tergerus banyak aspek di luar fiskal makin harus diperhitungkan bagi trader untuk menentukan buy, hold atau cut loss ke depan. Merebaknya electrical sigaret, roll your own alias “linting dewe” harus menjadi parameter tambahan trader.
Ambiguitas pandangan terhadap daya beli di kalangan pemerhati rokok juga menjadi critical point yang bisa “menjempalikkan” harga saham. Bagi sektor properti dan konsumsi naiknya daya beli masyarakat adalah kegembiraan. Namun, bagi sektor rokok adalah alert tambahan beban.
Barangkali ini bagian yang dikehendaki agar ekonomi Indonesia bukanlah ekonomi rokok sebagaimana biasa menjadi diskursus publik menjelang harga rokok naik? Sayang sektor “masa depan” yang sering dijadikan jualan demi menguatkan perlunya tekanan ke sektor ini tak sekinclong prospektusnya di bursa.
Dari sekian emitan harapan yang di bursa GOTO dan BUKA tak ada geliat berarti. Keduanya kini di angka Rp182 dan Rp286 perlembar. Keduanya meluncur bebas -41% dan -78%. Dan pasti akan panjang dipersoalkan kalau dikomparasikan diluar aspek trading.
Bagi trader penurunan income -50% selama dua tahun tentu perlu menetapkan pilihan,hold, cut loss, atau bahkan average down. Memang ada banyak faktor yang bisa membuat merah hijaunya saham di bursa seperti di “goreng” sahamnya atau bisa jadi ada aksi akuisisi. Faktor pertama sulit dilakukannya untuk saham dengan kapitalisasi Rp200 triliun. Faktor kedua adalah hal yang mungkin terjadi. Di lantai bursa siapa saja bisa memiliki.
Namun, yang terpenting untuk diingat bahwa sektor rokok ini “pemegang saham” terbesarnya adalah pemerintah. Porsi cukai, PPN, pajak rokok, dan PPh mencapai 60%—70% dari omzet. Dan sebagaimana korporasi pada umumnya, pemegang saham terbesarlah yang tahu ke mana arahnya. Bahkan tahu juga membutuhkan atau tidaknya. Dan dalam hal yang terakhir terjadi bisa dipastikan pertimbangannya “rasa” ketimbang logika. Tentu tak perlu dikupas lagi untuk menjelaskannya.