Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan pelaku usaha menilai pemerintah harus berhati-hati apabila ingin mengerek penerimaan negara menggunakan instrumen fiskal pada 2023 di tengah ketidakpastian ekonomi yang melanda.
Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Bobby Gafur Umar, pemerintah perlu menghindari strategi mengerek penerimaan negara yang berdampak terhadap terhadap daya beli masyarakat.
Termasuk, menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Bobby menilai beban pembelian barang oleh konsumen yang bertambah apabila PPN mengalami kenaikan dikhawatirkan berimbas langsung ke dunia usaha.
"Kenaikan PPN akan langsung berimbas ke dunia usaha meskipun hanya 1 persen. Jadi, kami berharap pemerintah jangan terburu-buru menaikkan PPN. Sebab, daya beli masyarakat mesti dijaga," kata Bobby kepada Bisnis, Minggu (4/12/2022).
Alih-alih menaikkan PPN, sambungnya, pemerintah justru dianjurkan untuk menaikkan tarif impor barang-barang consumer goods yang beredar di pasar digital yang dinilai memiliki jumlah cukup besar.
Dengan menaikkan tarif impor consumer goods di pasar daring (online), kata Bobby, maka peluang produk-produk dalam negeri untuk menguasai pasar domestik semakin terbuka lebar.
Dengan kata lain, dia mengatakan Indonesia tidak hanya mengerek penerimaan negara dari instrumen tarif impor consumer goods di pasar digital, melainkan juga membuka jalan bagi produk dalam negeri untuk dapat menjadi lebih berdaya saing.
Menurutnya, tarif impor untuk consumer goods yang dijual di market digital bisa dinaikkan sebagai cara Indonesia menguasai pasar online dengan produk dalam negeri.
Perlu diketahui, di tengah ketidakpastian ekonomi, pelemahan harga komoditas, hingga nihilnya momentum untuk mengerek penerimaan membatasi ruang gerak otoritas pajak pada tahun depan.
Satu-satunya strategi ideal yang bisa dilakukan adalah dengan menggencarkan ekstensifikasi atau penambahan jumlah wajib pajak agar kinerja penerimaan tetap prima dalam rangka meleluasakan manuver fiskal.
Sampai dengan kuartal III/2022, terdapat 3,8 juta wajib pajak (WP) baru. Akan tetapi, pemerintah dihadapkan pada banyaknya wajib pajak baru yang memiliki penghasilan di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP), sehingga ekstensifikasi pun tak linier dengan penerimaan pajak.
Dengan ekspektasi jumlah pekerja yang berkurang akibat PHK dan kemungkinan perusahaan tidak melakukan ekspansi sehingga menghambat ekstensifikasi pajak.
Beberapa opsi seperti sejumlah rencana pajak yang sudah disusun yang hingga kini tertunda, meliputi pajak karbon, pajak natura/kenikmatan, pajak digital serta ruang penyesuaian tarif dinilai perlu dieksekusi.
Selain itu, terdapat opsi menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen yang dinilai akan menjadi keran baru kucuran pajak di tengah ekspektasi normalisasi harga komoditas yang dalam dua tahun terakhir menjadi pemicu utama tercapainya penerimaan pajak.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan target pendapatan negara pada 2023 adalah Rp2.463 triliun. Menurutnya, target ini akan dicapai melalui berbagai reformasi perpajakan dan pelaksanaan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk memperkuat fondasi perpajakan yang lebih adil dan efektif serta pendukung pendanaan pembangunan secara sehat dan berkelanjutan.
“Ini adalah sebuah target yang mencerminkan kehati-hatian di dalam mengantisipasi. Pertama ketidakpastian dari harga-harga komoditas; kedua kecenderungan pelemahan ekonomi global dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia,” ujar Menteri Keuangan pada acara penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Daftar Alokasi Transfer ke Daerah di Jakarta, Kamis (1/12/2022).