Bisnis.com, JAKARTA — Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan bahwa Indonesia perlu terus mewaspadai gejolak global yang masih akan tinggi pada tahun depan.
Beberapa faktor yang menambah tekanan global tahun depan diantaranya perang Rusia dan Ukraina yang masih berlanjut, kembali memanasnya perang dagang Amerika Serikat dan China, serta berlanjutnya gangguan rantai pasok global.
Selain itu, Perry mengatakan, perlambatan ekonomi negara mitra dagang utama Indonesia, yaitu China, masih perlu diwaspadai, seiring dengan berlanjutnya kebijakan zero Covid-19 policy dalam 6 bulan ke depan.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi global berisiko mengalami penurunan, yang juga dipicu oleh risiko resesi di AS, Eropa, dan berbagai negara di dunia. Hal itu akan mengakibatkan stagflasi atau melambatnya pertumbuhan ekonomi dan diiringi inflasi tinggi.
Perry juga mengatakan bahwa ekonomi global bukan hanya dibayangi stagflasi, tetapi juga resflasi, yakni risiko resesi yang meningkat disertai inflasi tinggi.
“Kita tetap harus hati-hati dan waspada sambil meningkatkan optimisme, optimis dan waspada, waspada karena dunia memang sedang bergejolak,” katanya, Jumat (2/12/2022).
Baca Juga
Perry menyampaikan, beberapa risiko lain yang perlu menjadi perhatian adalah masih tingginya inflasi global, yang kemudian memicu pengetatan moneter di negara maju.
Pengetatan moneter di negara maju, khususnya dengan kenaikan suku bunga acuan di AS, juga penguatan dolar AS, telah menambah ketidakpastian pasar keuangan negara berkembang dan menekan mata uang banyak negara, termasuk Indonesia.
Kemudian, akibat persepsi risiko investasi yang tinggi, investor global menarik dananya dari pasar negara berkembang dan menempatkannya di aset yang lebih likuid.
Namun demikian, Perry optimistis perekonomian Indonesia akan terus menunjukkan prospek yang baik di tengah gejolak tersebut.
BI bahkan memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2023 akan tumbuh pada kisaran 4,5–5,3 persen, dan terus meningkat menjadi 4,7–5,5 persen pada 2024.
Pertumbuhan yang kuat ini akan didukung oleh penguatan konsumsi swasta, investasi, dan tetap positifnya kinerja ekspor di tengah pertumbuhan ekonomi global yang melambat.
Perry melanjutkan, pada 2023, kebijakan moneter BI akan terus difokuskan untuk menjaga stabilitas (pro-stability).
Sementara itu, kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar keuangan, dan ekonomi keuangan inklusif dan hijau akan terus diarahkan untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.