Bisnis.com, JAKARTA - Kepala Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) Kristalina Georgieva menyebut meningkatnya hambatan perdagangan yang diberlakukan kepada China dan negara-negara lain selama setahun terakhir, dapat merugikan ekonomi global US$1,4 triliun.
Risiko tersebut, menurutnya dapat diperparah oleh gejolak geopolitik Rusia-Ukraina. Untuk itu, Georgieva berharap adanya beberapa perubahan kebijakan dalam hal perdagangan dengan China dan sejumlah negara lain.
“Dunia akan kehilangan 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) hanya karena sentimen yang mungkin membagi kita menjadi dua blok perdagangan. [Kerugian] ini [bisa mencapai] US$1,4 triliun,” kata Georgieva, melansir Bloomberg, Minggu (20/11/2022).
Di sela-sela pertemuan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) minggu ini, Georgieva mengatakan bahwa untuk Asia, potensi kerugian dapat mencapai dua kali lebih buruk atau lebih dari 3 persen dari PDB. Pasalnya, kawasan ini lebih terintegrasi ke dalam rantai nilai global.
Kendati demikian, adanya perang di Ukraina menjadi faktor terbesar yang menghambat pertumbuhan global.
“Satu-satunya faktor yang paling merusak perekonomian dunia adalah perang. Semakin cepat perang berakhir, semakin baik,” ujarnya.
Baca Juga
IMF juga telah memperingatkan bahwa inflasi parah akan memukul negara-negara berkembang yang pada akhirnya mendesak para gubernur bank sentral untuk berjuang meredam inflasi.
Apresiasi dolar dalam dua digit sepanjang tahun ini terus menyebabkan ‘sakit kepala’ di pasar negara berkembang lantaran investor ramai-ramai pindah ke tempat yang aman di tengah ancaman resesi global.
Georgieva mengatakan, negara-negara Asia harus bekerja sama untuk mengatasi fragmentasi. Hal tersebut guna mempertahankan pertumbuhan, terutama mengingat banyaknya guncangan ekonomi lainnya akibat Covid-19, perang Rusia-Ukraina, dan meningkatkan biaya hidup.
Namun, dia menilai negara-negara di Asia jauh lebih siap menghadapi guncangan ekonomi berkat cadangan dan kerja sama yang signifikan di kawasan tersebut.
Terkait meningkatnya risiko utang negara di negara-negara berkembang, Georgieva menyebut bahwa IMF belum khawatir namun tetap waspada.
“Sekitar 25 persen pasar negara berkembang berdagang di wilayah tertekan, sementara 60 persen negara berpenghasilan rendah berada pada atau mendekati kesulitan utang,” jelasnya.
Melihat kondisi ini, dia mendorong negara-negara yang tertekan akibat meningkatnya biaya pembayaran utang berdenominasi dolar dan lingkungan ekonomi global untuk bertindak lebih awal dan mencari bantuan lebih awal dari dana tersebut.