Bisnis.com, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies atau Celios menilai bahwa asumsi makro dalam anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN 2023 masih terlalu tinggi di pemburukan kondisi ekonomi global, sehingga perlu adanya sejumlah revisi.
Ekonom dan Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menilai bahwa asumsi makro dalam anggaran tahun depan masih terlalu tinggi (overshoot). Pasalnya, beberapa pekan terakhir terjadi gejolak yang berpotensi memperburuk kondisi ekonomi tahun depan.
Sejumlah lembaga internasional sudah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global—bahkan memperkirakan terjadinya resesi di sejumlah negara—dan APBN 2023 telah mempertimbangkan itu. Namun, Bhima menilai bahwa perlu terdapat perhitungan ulang dari kondisi terkini.
"Pertama, kurs rupiah, setidaknya itu di 15.600—16.000, karena [asumsi kurs] akan berpengaruh ke pendapatan dan belanja negara, termasuk subsidi energi," ujar Bhima dalam dalam workshop jurnalis ekonomi Celios jelang KTT G20, akhir pekan lalu di Yogyakarta.
Sepanjang pekan lalu, Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) bergerak di rentang 15.542—15.616. Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan, sejalan dengan tren penguatan dolar AS terhadap banyak mata uang dalam beberapa waktu terakhir.
Lalu, Bhima menyebut bahwa pemerintah perlu menaikkan asumsi inflasi 2023 menjadi 5,5 persen—6 persen. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan ancaman krisis pangan berpotensi menahan inflasi di tingkat yang tinggi tahun depan.
"Kalau melihat faktor [makroekonomi pada] 1970 bentuk huruf W trajektori inflasi negara maju, mungkin kita juga harus mempertimbangkan [tingginya] inflasi 2023," ujar Bhima.
Celios menilai bahwa pemerintah perlu menurunkan asumsi Indonesian Crude Price (ICP) ke level US$60—70 per barrel. Alasannya, terjadinya resesi global akan menurunkan permintaan bahan baku sehingga kebutuhan minyak pun akan melambat.
Dia meragukan realisasi investasi pada tahun depan bisa mencapai Rp1.000 triliun karena masuknya tahun politik. Bhima menilai bahwa investor biasanya menahan diri (wait and see) untuk berekspansi secara besar sebelum adanya kestabilan politik.
Meskipun investasi berpotensi melambat, dia meyakini konsumsi domestik akan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. Gelaran kampanye menuju pemilihan umum (pemilu) akan mendorong konsumsi yang besar dan merata di banyak daerah.
"Proyeksi kami pertumbuhan ekonomi 2023 di 4,5 persen. Kenapa masih bisa tumbuh 4,5 persen? Karena konsumsi domestik masih agak besar," ujar Bhima.