Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) dinilai perlu menaikkan suku bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menyampaikan, hal tersebut mempertimbangkan tingkat inflasi yang terus melambung di atas kisaran target BI pasca kenaikan harga BBM bersubsidi pada awal September lalu, serta derasnya arus modal keluar akibat pengetatan moneter yang agresif oleh bank sentral di seluruh dunia.
“BI perlu menaikkan suku bunga sebesar 50 bps menjadi 4,75 persen pada bulan ini,” katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (19/10/2022).
Menurut dia, langkah tersebut diharapkan mampu meredam dampak ketidakpastian eksternal pada pasar keuangan dan valuta asing domestik.
Kemudian, pada saat yang sama pemerintah Indonesia dapat melakukan berbagai cara untuk menjaga momentum pemulihan permintaan dan optimisme sektor riil terhadap prospek pertumbuhan ekonomi nasional.
Melonjaknya harga komoditas global akibat permintaan yang terpendam pasca
Baca Juga
pandemi Covid-19 ditambah dengan kelangkaan pasokan terus meningkatkan harga energi dan pangan global.
Sebagaimana diketahui, tingkat inflasi di Indonesia kembali mencapai rekor tertinggi yakni mencapai 5,65 persen (year-on-year/yoy) pada September lalu, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tercatat 4,69 persen.
Tingginya inflasi pada bulan ini utamanya disumbang oleh penyesuaian harga BBM bersubsidi yang dilakukan pemerintah pada awal September lalu, sebagai upaya untuk menjaga pengeluaran subsidi energi di tengah melonjaknya harga minyak mentah dan harga gas.
Riefky menuturkan, tingkat harga yang naik tajam dalam beberapa bulan terakhir memberikan risiko bagi kegiatan ekonomi dengan membuat biaya hidup menjadi lebih mahal serta mengikis daya beli masyarakat.
Selain itu, dia memperkirakan langkah-langkah yang diambil bank sentral untuk menahan inflasi dengan menaikkan suku bunga juga dapat menahan aktivitas ekonomi. Ini tentunya dapat membuat pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan.
Dia juga menyampaikan, pasar keuangan di negara berkembang tengah mengalami episode arus modal keluar akibat lonjakan inflasi global yang mendorong kenaikan suku bunga dari bank sentral utama, terutama The Fed.
“Hal ini menyebabkan tren pelemahan mata uang negara berkembang terhadap dolar AS,” ujarnya.
Adapun The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 bps pada September lalu. The Fed juga secara agresif meningkatkan aksi jual portofolio obligasi bulan lalu untuk memperlambat inflasi.
Kendati demikian, terlepas dari lima kenaikan suku bunga yang telah dilakukan oleh The Fed tahun ini, tingkat inflasi di AS masih tetap tinggi di 8,20 persen pada September 2022. Hal tersebut, kata dia, mengindikasikan kemungkinan besar kenaikan suku bunga lanjut dalam dua pertemuan FOMC yang tersisa tahun ini.