Bisnis.com, JAKARTA - Ancaman resesi global di tahun depan kian nyata seiring dengan terjadinya lonjakan inflasi dan perang Rusia-Ukraina yang juga belum mereda. Tingginya tingkat inflasi di tengah pemulihan pandemi akan berdampak pada melambatnya proses pemulihan ekonomi.
Ditambah lagi, pengetatan fiskal yang sedang berlangsung di negara berkembang yang berbarengan dengan pengetatan kebijakan moneter akibat inflasi, akan berisiko bagi pemulihan ekonomi yang berkelanjutan terutama di negara berkembang.
Keterbatasan kemampuan untuk memberikan dukungan kebijakan tambahan pun menjadi faktor di balik pemulihan yang relatif lebih lambat di banyak negara berkembang jika dibandingkan dengan di negara maju.
Pemulihan pandemi berjalan secara tidak merata di tiap negara sehingga masing-masing negara membutuhkan strategi keluar yang berbeda, tergantung dari struktur ekonomi, kualitas sumber daya yang dimiliki, dan tata kelola pemerintahan dalam membuat kebijakan yang mendukung.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki peluang pasar yang besar serta ketahanan ekonomi domestik yang cukup baik dan memiliki kekuatan pasar domestik yang besar.
Hal ini terbukti dari perekonomian yang tetap tumbuh positif meski menghadapi ketidakpastian global dan geopolitik yang terus memanas akibat perang Rusia-Ukraina.
Baca Juga
Banyak sumber pertumbuhan ekonomi yang masih dapat diandalkan di antaranya konsumsi rumah tangga yang menyumbang 54,42% Produk Domestik Bruto (PDB), peningkatan investasi bangunan, dan ekspor seiring dengan pulihnya mobilitas masyarakat serta permintaan oleh negara mitra dagang utama Indonesia yang masih kuat.
Kendati demikian, besarnya pangsa pasar dalam negeri ini belum didukung oleh industri yang lengkap. Struktur industri di dalam negeri yang keropos di tengah membuat kita bergantung pada impor bahan baku penolong. Keroposnya industri ini mengakibatkan lemahnya keterkaitan antarindustri.
Sementara produk dari industri skala kecil dan menengah kurang dapat diandalkan oleh industri skala besar untuk memenuhi kebutuhan bahan baku/penolongnya.
Hal ini terkonfirmasi dari mayoritas impor merupakan bahan baku/penolong industri, porsinya sekitar 75%, padahal membangun industri haruslah utuh dari hulu hingga hilir.
Misalnya saja industri tepung tapioka dalam negeri yang belum dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhan industri yang tinggi. Pertumbuhan impor tepung tapioka sejak 2017—2021 mencapai 29% per tahun, padahal Indonesia termasuk 5 besar produsen singkong terbesar di dunia.
Pembangunan industri terintegrasi dari hulu hingga hilir merupakan keniscayaan. Dalam hal ini, diperlukan investasi untuk dapat menggenjot produksi. Investasi yang dibutuhkan tidak mesti yang berskala besar. Investasi kecil dan menengah pun dibutuhkan untuk menggerakkan roda pembangunan industri tersebut.
Bahkan investasi dengan skala kecil dan menengah berpotensi menyerap lebih banyak tenaga kerja masyarakat menengah bawah dan prosesnya pun lebih cepat.
Berbeda dengan investasi skala besar yang memerlukan penyesuaian sejumlah aturan dan biasanya padat teknologi dan menyerap tenaga kerja yang memiliki kompetensi dan jenjang pendidikan tertentu. Sementara, mayoritas pendidikan tenaga kerja Indonesia SMP ke bawah.
DAYA TAHAN
Dengan kekuatan pasar domestik dan ekspor yang besar, Indonesia memiliki optimisme untuk menyiapkan strategi yang memberikan peluang untuk keluar dari jebakan krisis akibat pandemi Covid-19 dan membangun ekonomi nasional lebih berdaya saing (Saparini, 2022).
Untuk memanfaatkan besarnya peluang dalam negeri, kita bisa mulai dari sektor paling strategis yakni pertanian, pariwisata dan penghiliran industri berbasis sumber daya alam. Sektor pertanian yang banyak menyerap tenaga kerja dan vital dalam hal pemenuhan pangan harus dibenahi tata kelolanya.
Ketiadaan sistem insentif yang berkeadilan, perlindungan harga, jaminan pasar dan kurangnya keterkaitan dengan industri besar harus segera diantisipasi oleh pemangku kebijakan.
Sektor pariwisata pun perlu dibenahi dengan melengkapi amenitas, adanya inovasi produk wisata, sistem informasi terkait destinasi wisata yang terintegrasi serta SDM pariwisata yang memadai. Begitu juga dengan penghiliran industri berbasis sumber daya alam untuk meningkatkan nilai tambah.
Selain itu, ekonomi digital pun perlu terus dikembangkan, Sumber Daya Manusia (SDM) dan infrastruktur penunjangnya perlu dibangun agar lebih baik dan siap. Pandemi Covid-19 yang mengakselerasi digitalisasi berdampak pada meningkatnya nilai transaksi e-commerce.
Meski demikian, pemanfaatan platform digital belum optimal. Sebab, baru 20% UMKM yang memanfaatkan platform digital. Bahkan e-commerce existing pun dihadapkan dengan persoalan demand yang belum cukup tinggi mengingat mayoritas pengguna internet Indonesia masih didominasi untuk aktivitas non ekonomi.
Diperlukan transformasi paradigma di berbagai level stakeholders agar pengguna internet lebih banyak untuk aktivitas ekonomi.
Menggenjot sektor riil yang didukung dengan teknologi yang memadai serta adanya harapan besar untuk bisa bangkit serta pulih dari pandemi merupakan langkah kunci untuk membangun daya tahan perekonomian di tengah berbagai guncangan.