Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Jokowi mengingatkan para menterinya agar berhati-hati mengambil kebijakan di tengah situasi sulit. Kasus di Inggris menjadi rujukan pemerintah Indonesia. Hal itu menyiratkan bahwa Indonesia butuh cara cerdas agar tak mengalami nasib yang sama dengan Inggris.
Berita tentang kondisi ekonomi Indonesia menjadi salah satu berita pilihan editor BisnisIndonesia.id. Selain berita tersebut, beragam kabar ekonomi dan bisnis yang dikemas secara mendalam dan analitik juga tersaji dari meja redaksi BisnisIndonesia.id.
Berikut ini highlight BisnisIndonesia.id, Kamis (13/10/2022):
1. Menanti Cara Cerdas Indonesia Agar Tak Senasib Dengan Inggris
Kebijakan pemangkasan pajak orang kaya di Inggris, yang kemudian dibatalkan, menjadi sentiment negatif bagi negeri itu. Bahkan, nilai tukar Pound Sterling sempat terjungkal seiring isu tersebut.
Hal tersebut memperparah kondisi ekonomi Inggris yang tertekan. Kasus kebijakan yang gagal di Inggris tersebut menjadi rujukan Indonesia, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Seperti disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Presiden Jokowi sampai memerintahkan para menterinya untuk berhati-hati dalam mengambil kebijakan di saat sulit seperti sekarang.
Disebutkan Airlangga bahwa arah kebijakan yang kurang tepat bisa membebani perekonomian, seperti yang terjadi di Inggris.
2. Setumpuk Peluang Penopang Asa Perbankan
Masih banyak alasan untuk optimistis bahwa kinerja industri perbankan bakal tetap stabil, kendati dibayangi oleh pelemahan permintaan kredit dan kenaikan risiko kredit bermasalah akibat meningkatnya suku bunga acuan.
Tantangan utama yang membayangi perbankan ketika terjadi kenaikan suku bunga acuan adalah pelemahan permintaan kredit. Hal ini lantaran suku bunga kredit cenderung akan ikut meningkat mengikuti naiknya suku bunga acuan, sehingga beban keuangan debitur meningkat.
Hal ini berpotensi menahan gairah debitur dalam meminta kredit baru dari perbankan. Jadi, meskipun kenaikan bunga dapat memperbesar margin keuntungan bank, volume pendapatan justru berkurang karena laju penyaluran kredit baru yang melambat.
Selain itu, naiknya suku bunga juga berpotensi mengganggu kemampuan debitur dalam memenuhi kewajiban utangnya yang sudah terlanjur berjalan. Ditambah lagi dengan risiko pelemahan daya beli hingga resesi ekonomi, tantangan peningkatan rasio non performing loan (NPL) menjadi kian meningkat.
Meski demikian, masih ada peluang bagi industri perbankan untuk tetap dapat menikmati pertumbuhan permintaan kredit.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan pertumbuhan kredit akan tetap meningkat. Beberapa sektor ekonomi juga diproyeksikan tumbuh lebih cepat, sedangkan sebagian lainnya masih membutuhkan waktu untuk pulih ke level sebelum pandemi.
3. Menilik Prospek Properti di Balik Kepailitan Sejumlah Pengembang
Kondisi sektor properti terutama residensial dalam beberapa tahun terakhir terus berkibar karena masih tingginya kebutuhan hunian. Namun demikian, permintaan akan hunian yang masih terus ada ini tak membuat kinerja perusahaan pengembang properti juga bagus.
Bursa Efek Indonesia (BEI) buka suara mengenai adanya beberapa emiten properti yang pailit seperti PT Hanson International Tbk. (MYRX), PT Forza Land Indonesia Tbk. (FORZ), dan PT Cowell Development Tbk. (COWL). Ketiga emiten properti ini resmi dinyatakan pailit karena tak mampu membayar hutang kepada krediturnya. Hal itu pun menjadi perbincangan pelaku pasar modal karena banyak investor yang menunggu kepastian terkait dana investasi dan kelanjutan perusahaan.
Sementara itu, Real Estat Indonesia (REI) menyebut tumbangnya sejumlah pengembang properti di Indonesia tak semata-mata disebabkan kondisi internal perusahaan.
Tumbangnya pengembang properti juga dikarenakan sistem perundang-undangan di Indonesia tentang kepailitan suatu perusahaan sangat rentan dan mudah mengubah status. Penetapan status pailit pada pengembang properti membuat pembeli yang belum memiliki dokumen Akta Jual Beli (AJB) kehilangan hak atas unit properti yang beli.
Adanya 3 emiten properti yang pailit ini tak berkaitan dengan bisnis properti di Tanah Air secara keseluruhan. Kondisi pasar properti di Indonesia saat ini terus menunjukkan performa yang baik. Hal ini dibuktikan dari kinerja penjualan dari pengembang properti besar lainnya yang juga listed di BEI.
4. Berharap Politik dan Ekonomi China Kurangi Tekanan Bagi Dunia
Kondisi ekonomi di China menjadi salah satu dari tiga faktor yang bisa berpengaruh terhadap perekonomian global. Tahun depan ekonomi global diprediksi menghadapi tantangan yang terbentuk akibat tiga tekanan utama. Serangan Rusia ke Ukraina, lonjakan inflasi, dan perlambatan ekonomi di China dinailai akan menjadi tekanan utama bagi perekomian dunia.
Itu sebabnya, IMF merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan menjadi 2,7 persen dalam laporan World Economic Outlook (WEO) edisi Oktober 2022. Sebelumnya, pada WEO Juli 2022, IMF masih meyakini pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa mencapai 2,9 persen.
Perlambatan sektor properti di China dnilai IMF dapat meluas ke sektor perbankan domestik sehingga membebani pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Lebih jauh lagi, hal itu akan menimbulkan efek yang bersifat lintas batas.
Dampak perlambatan ekonomi akibat kebijakan nol Covid di China yang diiringi dengan krisis di sektor properti telah menjalar ke berbagai sektor.
Perlambatan ekonomi dan krisis properti di China di antaranya berpengaruh ke pasar bijih besi. Biasanya September-Oktober menjadi periode maraknya permintaan bijih besi. Kali ini, hal itu tidak terjadi.
5. Fakta Kendaraan Listrik Lebih Hemat dan Rendah Emisi
Penggunaan kendaraan listrik diyakini jauh lebih baik dibandingkan dengan kendaraan konvensional berbahan bakar minyak (BBM), baik dari segi penghematan bahan bakar maupun emisi gas buang kendaraan.
Kendati masih bergantung pada energi listrik yang dipasok dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, penggunaan kendaraan listrik secara nyata tetap memiliki kontribusi besar dalam upaya menurunkan emisi.
Berdasarkan simulasi yang dilakukan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), emisi yang dihasilkan dari 1 liter bensin sama dengan 1,2 kWh mencapai 2,4 kilogram (kg) CO2e. Sementara itu, 1 kWh listrik pada sistem kelistrikan di Indonesia, emisinya hanya sekitar 0,85 kg CO2e. Artinya, kalau 1,2 kWh emisinya sekitar 1,1 kg CO2e sehingga kendaraan listrik sudah bisa mengurangi emisi sekitar 50 persen.
Dengan demikian, jika satu kendaraan berjalan sejauh 10 km dan membutuhkan 1 liter bensin, sama dengan daya listrik 1,2 kWh.