Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan politisi kembali menyuarakan penolakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2023 yang akan ditetapkan Kementerian Keuangan dalam waktu dekat. Penolakan kenaikan ini khususnya di sektor sigaret kretek tangan (SKT) yang padat karya.
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDIP Rahmad Handoyo mengatakan, rencana kenaikan tarif CHT pada SKT hendaknya mengedepankan asas kehati-hatian.
“Keinginan pemerintah untuk mengendalikan konsumsi tembakau bisa dipahami, tetapi khusus padat karya harus dilindungi agar kenaikan tarif cukai tidak menimbulkan gejolak di kalangan para pekerja SKT dan petani karena hidup mereka juga bergantung dari hasil tembakau,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Rabu (5/10/2022).
Sekadar informasi, dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Negara (RAPBN) 2023 dan Nota Keuangan pada 2023, pemerintah menargetkan penerimaan dari sektor cukai sebesar Rp245,45 triliun, naik 11,6 persen dari target dalam Perpres 98/2022.
Terdapat sejumlah variabel yang menentukan besaran tarif cukai rokok oleh pemerintah. Salah satunya, pertumbuhan ekonomi yang mencerminkan daya beli masyarakat. Ekonomi RI pada kuartal II-2022 tercatat tumbuh 5,44 persen (year-on-year/yoy), lebih tinggi dari kuartal sebelumnya yang tumbuh 5,01 persen. Sebagai pembanding, pada 2021 saat perekonomian tumbuh 3,69 persen, cukai rokok ditetapkan naik 12 persen di 2022.
Sementara itu kalangan petani menyebutkan kenaikan CHT selalu menjadi alasan pabrik rokok menekan petani. Suyadi, salah satu petani di Temanggung mengatakan kenaikan CHT tentu akan membuat pabrik rokok akan menekan pembelian cengkeh dan tembakau demi keberlangsungan bisnis mereka.
Baca Juga
“Terkait dengan kenaikan cukai itu berimbas pada petani juga karena beban perpajakan. Kami kirim ke gudang juga kena pajak terus saya kira pabrikan pun demikian, karena cukai naik maka yang ditekan itu dari bahan baku diantaranya cengkeh dan tembakau,” tutur Suyadi saat ditemui di rumahnya di Desa Legoksari, Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (30/9/2022).
Suyadi juga mengeluhkan bahwa cuaca saat ini yang tidak mendukung justru membuat petani tembakau menangis karena harga per kilogram tembakau pada kisaran Rp40.000-60.000 saja.
Padahal, Suyadi mengatakan bahwa jika cuaca mendukung petani tembakau bisa menjual tembakau pada kisaran Rp100.000 bahkan diatas tersebut per kilogramnya. Dengan harga tembakau yang turun dan rencana kenaikan CHT, Suyadi juga menyenggol terkait dengan harga yang akan dipatok oleh pabrik pembuat rokok. Dirinya menjelaskan bahwa pabrik tentu akan menekan harga dari tembakau untuk membuat roda bisnis mereka tetap berjalan.
“Dengan kenaikan cukai saya kira dari pabrikan pasti menekan harga bahan dasar tembakau dan cengkeh, dan ini memang sudah sewajarnya,” pungkas Suyadi
Dengan tekanan ini dia mengharapkan pemerintah tidak telalu tertekan dengan membatasi kenaikan cukai yang menjadi alasan pabrik rokok menekan petani. "Keluhan dari petani itu cukai jangan terlalu dinaik-naikan karena imbasnya ke petani. Kami jual tembakau saja sudah kena beban pajak,” tutupnya.
Ditegaskan Rahmad, memang perlu keseimbangan pada pengendalian tembakau. Akan tetapi, pemerintah perlu melihat bahwa keputusan kenaikan tarif CHT, terutama pada segmen padat karya, akan mengganggu kinerja industri, khususnya buruh tani dan pekerja SKT.
“Aspek kesehatan tidak serta-merta jadi alasan utama. Keberadaan petani tembakau dan para pekerja SKT juga aspek lain yang harus dipertimbangkan. Pemerintah perlu berpikir jernih dan komprehensif sebelum memberikan keputusan,” tegas Rahmad.
Untuk itu, lanjutnya, jika pada akhirnya keputusan kenaikan tarif CHT tidak bisa nol persen, setidaknya jangan sampai mengganggu kelangsungan hidup pekerja di segmen padat karya.
“Khusus SKT yang merupakan industri rokok yang diproduksi dengan tangan – tangan pekerja IHT. Apabila kenaikannya signifikan, tentu ini akan berpengaruh pada kelangsungan industri tersebut karena padat karya. Untuk itu, pemerintah perlu menimbang adanya potensi PHK dan lainnya,” kata Rahmad.
Rahmad berharap ditemukannya titik keseimbangan terkait kebijakan tarif CHT SKT agar para pekerja SKT masih bisa bertahan hidup. Dia juga merekomendasikan agar pemerintah fokus pada edukasi, sosialisasi, gerakan hidup masyarakat sehat tanpa rokok untuk pengendalian konsumsi, dibandingkan dengan menaikkan tarif CHT.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Pusat Soeseno tidak setuju bila kenaikan cukai hasil tembakau melampaui daya beli masyarakat. Mengingat masyarakat masih terbebani dengan kenaikan berbagai macam barang pokok dan harga BBM sehingga daya beli belum sepenuhnya pulih.
Di sisi lain, berbagai regulasi yang ada juga semakin menekan pemangku kepentingan industri hasil termasuk. Paling anyar, saat ini muncul wacana revisi PP 109/2022 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
“Kondisi petani tahun ini sangat sulit akibat musim yang tidak mendukung. Ditambah dengan regulasi CHT yang menekan kami petani tembakau,” ujar Soeseno, Senin (3/10/2022).