Bisnis.com, JAKARTA – Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) meminta pemerintah segera melakukan terobosan terkait kebijakan harga baru rumah sederhana bersubsidi.
Hal itu untuk memastikan pasokan rumah khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tidak mengalami stagnasi.
Jelang kuartal IV tahun ini, harga jual rumah bersubsidi masih belum ada titik terang kepastian.
Ketua Umum DPP REI Paulus Totok Lusida menegaskan dalam tiga tahun terakhir harga baru rumah subsidi tidak mengalami kenaikan.
Padahal, harga bahan material sudah naik berulang kali.
Sebelum kenaikan bahan bakar minyak (BBM), harga material bangunan rata-rata sudah naik sekitar 20 persen hingga 30 persen. Bahkan, harga besi sudah naik lebih dari 100 persen.
Baca Juga
Kondisi tersebut semakin diperparah dengan adanya pengumuman kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) pada 3 September lalu yang membuat bahan bangunan kembali terkerek rerata hingga 15 persen.
“Pasca kenaikan BBM kemarin bahan material sudah naik lagi sekitar 15 persen. Kalau secara harga rumah, kenaikan produksi bisa sekitar 8 persen hingga 10 persen. Ini tentu sangat memberatkan bagi pengembang untuk terus melanjutkan pembangunan rumah sederhana,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (27/9/2022).
Sejak awal tahun ini, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sudah menyosialisasikan kenaikan harga rumah bersubsidi sebesar 7 persen di 2022.
Namun tidak ada kepastian kapan penyesuaian harga tersebut akan diberlakukan.
Pihaknya mendapatkan informasi dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bahwa sesuai aturan undang-undang perpajakan yang baru, penetapan harga rumah bersubsidi termasuk batasan penghasilan penerima subsidi haruslah menunggu penetapan Peraturan Pemerintah (PP) turunan dari UU harmonisasi peraturan perpajakan.
Saat ini, PP tersebut masih berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang sudah diharmonisasi. Tetapi masih membutuhkan persetujuan dari 21 menteri terkait.
“Kami sudah tanyakan kepada pejabat berwenang di Kemenkeu kapan persetujuan dari 21 menteri tersebut selesai? Jawabnya tidak tahu kapan selesai dan tidak ada kepastian tenggat waktunya,” jelas Totok.
Informasi ini membuat kepastian soal kapan harga baru rumah bersubsidi diumumkan tetap kabur.
Menurutnya, situasi tersebut berpotensi menganggu pasokan rumah MBR bahkan kemungkinan terjadi stagnasi.
Untuk menghindari terjadinya stagnasi suplai rumah MBR, REI mendesak pemerintah membuat terobosan (breakthrough) yang lebih bijak.
Adapun terdapat beberapa opsi yang dapat diambil pemerintah antara lain membebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk rumah sampai dengan harga Rp300 juta dengan tingkat suku bunga KPR berlaku umum.
Hal ini dapat dilakukan sambil sambil menunggu PP terbit, harga baru rumah subsidi ditetapkan saja dengan merujuk pada aturan undang-undang yang lama.
“Opsi lain adalah dengan menerbitkan harga baru rumah bersubsidi tanpa harus menunggu PP. Kalau untuk PPNDTP (Pajak Pertambahan Nilai Di Tanggung Pemerintah) saja bisa dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), lah kok ini untuk rumah MBR tidak bisa? Seharusnya kan ada breakthrough dan juga prioritas,” tegasnnya.
REI berharap tidak terjadi stagnasi dalam penyediaan rumah bersubsidi untuk MBR. Pasalnya, harga jual yang saat ini berlaku sudah tidak realistis.
Terlebih, mayoritas atau sekitar 85 persen pengembang rumah sederhana bersubsidi adalah pengusaha level Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang cashflow-nya sangat terbatas.
“Apa iya tidak ada alternatif kebijakan sama sekali dari pemerintah soal harga rumah subsidi ini?,” tutur Totok.