Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis poin menjadi 4,25 persen. Konsumsi dan daya beli masyarakat bakal terpengaruh?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat sebesar 4,69 persen (year-on-year/yoy) pada Agustus 2022, seiring dengan meningkatnya inflasi kelompok harga diatur Pemerintah (administered prices) yang sebesar 6,84 persen yoy dan inflasi inti yang menjadi 3,04 persen.
Sementara, inflasi kelompok pangan bergejolak (volatile food) menurun menjadi 8,93 persen dari bulan sebelumnya, sejalan dengan peningkatan pasokan dari daerah sentra produksi.
Bank Indonesia memperkirakan tekanan inflasi IHK akan meningkat, akibat penyesuaian harga BBM subsidi di tengah masih tingginya harga energi dan pangan global.
“Inflasi inti dan ekspektasi inflasi diperkirakan meningkat akibat dampak lanjutan [second round effect] dari penyesuaian harga BBM dan menguatnya tekanan inflasi dari sisi permintaan,” tulis BI, dikutip Jumat (23/9/2022).
Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menilai kebijakan BI menaikkan suku bunga dapat memberikan konsekuensi ekonomi dengan berkurangnya likuiditas.
"Kebijakan tersebut dapat menurunkan kemampuan daya beli serta konsumsi masyarakat. Padahal, konsumsi memiliki andil besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia secara signifikan," kata Ajib dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (23/9/2022).
Jika merujuk pada data produk domestik bruto (PDB) 2021 sebesar Rp16.970,8 triliun, lebih dari 54 persennya adalah kontribusi dari konsumsi.
Untuk jangka pendek, dia menilai pemerintah sudah cukup tepat dengan mendorong bantuan langsung tunai yang diambil dari alokasi dana PEN.
"Yang perlu dikritisi dalam kebijakan moneter ini adalah dengan efek disinsentif dalam ekonomi,” imbuhnya.
Dia menjelaskan, ketika pemerintah secara agresif melakukan penyelamatan fiskal dengan banyak disinsentif ke dunia usaha, pemerintah selanjutnya akan kembali membuat kebijakan dari sisi moneter yang membuat dunia usaha kembali mengalami tekanan, dengan potensi melemahnya konsumsi.
Menurut dia, pemerintah seharusnya lebih fokus dengan pemberian insentif agar terjadi pengurangan biaya-biaya dan kemudahan produksi. Dengan begitu, efek inflasi tetap bisa terjaga.
Salah satu contohnya dengan kembali diperpanjangnya kebijakan relaksasi kredit untuk dunia usaha lantaran narasi besar atas potensi inflasi.
“Dengan pola pembiayaan yang lebih terukur dan manageable, dunia usaha akan mempunyai fleksibilitas,” ujarnya.