Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bursa Asia Anjlok, Imbas Kenaikan Suku Bunga The Fed

Deretan bursa saham Asia anjlok akibat kebijakan Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga. Ini penjelasannya.
Salah satu layar perdagangan di bursa saham China./Bloomberg
Salah satu layar perdagangan di bursa saham China./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Asia semakin merosot menyusul anjloknya bursa Amerika Serikat (AS) setelah bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga hingga 75 basis poin (Bps).

Dilansir dari Bloomberg pada Jumat (23/9/2022), pasar saham jatuh pada hari Jumat (23/9/2022) di bursa Hong Kong, Australia dan Korea Selatan, setelah S&P 500 ditutup pada level terendah sejak Juni 2022. 

Imbal hasil Treasury 10-tahun melonjak 18 basis poin untuk menembus 3,7 persen pada hari Kamis (22/9/2022), tertinggi dalam satu dekade, lantaran investor mempertimbangkan risiko resesi ekonomi. 

Imbal hasil di Asia didorong lebih tinggi, dipimpin oleh lonjakan lebih dari 20 basis poin di busa Australia karena perdagangan dilanjutkan di sana setelah liburan. Sementara itu, tidak ada perdagangan kas tunai pasar saham Jepang lantaran ditutup untuk Hari Ekuinoks. 

Nilai tukar dolar mendekati rekor tertinggi setelah satu hari pergerakan dramatis di pasar mata uang setelah otoritas Jepang campur tangan untuk menopang yen, yang sakit untuk pertama kalinya sejak 1998. Yuan juga dibuka melemah dalam menghadapi upaya untuk memperlambat depresiasi, dengan People's Bank of China menetapkan kurs referensi harian lebih kuat dari yang diharapkan untuk hari ke-22.

Intervensi pemerintah Jepang belum mengatasi penyebab mendasar dari pelemahan yen, kesenjangan yang lebar antara kebijakan moneter ultra-longgar Jepang dan kenaikan suku bunga di negara lain, membuat mata uang negara tersebut rentan.

Kenaikan suku bunga semalam di Inggris, Swiss dan Norwegia, bersama dengan kenaikan suku bunga acuan di Asia, misalnya di Filipina, Indonesia dan Taiwan, tampaknya akan meredam sentimen pasar di wilayah tersebut.

Federal Reserve telah memberikan sinyal paling jelas bahwa pihaknya bersedia untuk mentolerir resesi sebagai trade-off yang diperlukan untuk mendapatkan kembali kendali inflasi. Para pejabat memperkirakan pengetatan 1,25 poin secara persentase (125 Bps) lebih lanjut sebelum akhir tahun.

“Kami melihat jalur tarif baru yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama ini terkait dengan kemungkinan hard landing yang jauh lebih tinggi, sehingga tidak hanya hawkish tetapi juga buruk secara risiko,” kata Krishna Guha, wakil ketua Evercore ISI.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper