Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sejarah Kenaikan Harga BBM: Rezim Soeharto, SBY, hingga Jokowi

Indef memaparkan sejarah kenaikan harga BBM dan subsidi energi yang diberlakukan oleh rezim Presiden Soeharto, SBY, hingga Jokowi.
Presiden Jokowi didampingi sejumlah menteri menyampaikan pernyataan perihal pengalihan subsidi BBM, Sabtu (3/9/2022), di Istana Merdeka, Jakarta - BPMI Setpres.
Presiden Jokowi didampingi sejumlah menteri menyampaikan pernyataan perihal pengalihan subsidi BBM, Sabtu (3/9/2022), di Istana Merdeka, Jakarta - BPMI Setpres.

Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan penyesuaian harga energi, salah satunya bahan bakar minyak atau BBM, ternyata telah dilakukan pemerintah sejak 1977. Dalam beberapa tahun, kenaikan harga BBM berkontribusi sangat besar terhadap tingginya inflasi di tahun tersebut.

Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment dari Indef Ahmad Heri Firdaus menjelaskan bahwa penyesuaian harga energi merupakan kebijakan yang sudah lama terjadi di Indonesia. Dia merunut berbagai kebijakan penyesuaian harga, terutama BBM, sejak 1977 berdasarkan catatan Kementerian Keuangan.

Pada 1977 atau era pemerintah Presiden Soeharto, Indonesia mulai memberikan subsidi terhadap tujuh jenis bahan bakar fosil. Namun, beberapa tahun setelah itu BBM bersubsidi berkurang menjadi lima jenis.

"Tingginya kebutuhan BBM membuat Indonesia mencatatkan nilai impor minyak yang sangat tinggi dan melebihi kemampuan ekspornya [net oil importer]," ujar Heri dalam diskusi publik Indef bertajuk Dampak Kenaikan Harga BBM dan Isu Penghapusan Daya Listrik 450 VA, Rabu (21/9/2022).

Memasuki 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaikkan harga bensin (RON 88) hingga 80 persen dan mencabut subsidi untuk sektor industri. Untuk meredam dampaknya terhadap masyarakat, pemerintah pun memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat menengah ke bawah.

Menurut Heri, saat itu hanya tiga jenis BBM yang mendapatkan subsidi, yakni bensin, solar, dan minyak tanah. Pada 2007, pemerintah memulai program konversi minyak tanah ke liquid petroleum gas (LPG). Kebijakan tersebut berhasil mengurangi konsumsi minyak tanah mencapai 9 juta kiloliter hingga 2014.

Pada 2010, SBY kembali menaikkan tarif listrik hingga 10 persen sebagai penyesuaian atas harga produksi dan anggaran subsidi. Lalu, pada 2012 terdapat program konversi angkutan umum berbahan bakar bensin menjadi kompresi gas alam (compressed natural gas).

"Kenaikan tarif listrik kembali terjadi pada 2013, tidak termasuk golongan daya 450 VA dan 900 VA. Terdapat pembagian BLT kepada masyarakat menengah ke bawah dalam rangka mengimbangi kenaikan harga tersebut," ucap Heri. 

Setahun setelahnya atau tepatnya pada 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikkan tarif listrik dan melakukan pengurangan subsidi listrik. Tarif listrik non subsidi pun ditetapkan setiap bulan, sesuai indikator nilai tukar rupiah atau kurs, inflasi, dan harga minyak (Indonesia Crude Price/ICP).

Pada 2016,  Jokowi menetapkan subsidi tetap Rp500 per liter untuk solar. Lalu, pada 2017 pemerintah menetapkan bahwa subsidi listrik hingga daya 900 VA hanya berlaku untuk masyarakat miskin dan rentan.

Sejak 2019 pemerintah berupaya menghapus BBM bersubsidi jenis premium tetapi belum sepenuhnya terlaksana, meskipun saat ini sudah sangat sedikit pasokannya. 3 September 2022,  Jokowi kembali menaikkan harga BBM subsidi jenis Pertalite dan Solar, setelah terlebih dahulu menaikkan harga BBM non-subsidi, yaitu Pertamax.

Heri menjelaskan bahwa kenaikan harga energi berkorelasi dengan tingginya inflasi pada tahun yang sama. Dia menyoroti kebijakan harga energi yang terjadi pada 2008, 2014, dan 2022 yang membuat inflasi pada tahun-tahun tersebut melonjak tinggi.

"Dari setiap kenaikan harga BBM berdampak terhadap kenaikan inflasi di bulan itu, ada yang 2 persen, ada yang lebih dari 2,5 persen. Pada 2008 inflasi tahunan mencapai 11 persen, 2014 per tahunnya 8 persen, kita tunggu akhir 2022 [inflasi] berapa persen," jelasnya. 

Indef melakukan kalkulasi terhadap kebijakan kenaikan harga BBM pada tahun ini dan adanya penyaluran bantuan sosial (bansos) dengan total Rp24,7 triliun. Berdasarkan riset itu, penambahan inflasi tetap akan terjadi hingga 1,86 persen pada September 2022, ketika kenaikan harga BBM terjadi.

Dampak terhadap inflasi masih akan terasa pada bulan-bulan berikutnya, bahkan hingga awal 2023. Heri menyebut bahwa hal itu akan menyebabkan inflasi tahunan Indonesia meningkat cukup tinggi.

"Inflasi tahunan [2022] bisa mencapai 7,7 persen," ucapnya. 

Sejarah Kenaikan Harga BBM: Rezim Soeharto, SBY, hingga Jokowi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper