Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekspor dan Neraca Dagang RI Catatkan Rekor, Windfall Komoditas Bertahan Lama?

Capaian ekspor dan neraca perdagangan pada Agustus 2022 mencerminkan Indonesia masih menikmati keuntungan dari adanya kenaikan harga komoditas.
Sebuah truk peti kemas melintas di Terminal JICT, Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (21/7/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Sebuah truk peti kemas melintas di Terminal JICT, Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (21/7/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan Indonesia secara kumulatif atau pada periode Januari—Agustus 2022 mencapai US$34,9 miliar.

Nilai ekspor secara kumulatif pada periode tersebut tercatat sebesar US$194,6 miliar. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan bahwa kedua capaian tersebut merupakan rekor tertinggi dalam sejarah ekonomi Indonesia.

Pada Agustus 2022, total nilai ekspor Indonesia mencapai US$27,91 miliar, tumbuh sebesar 30,15 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) atau 9,17 persen secara bulanan(month-to-month/mtm). 

Peningkatan ekspor tersebut didorong oleh ekspor migas yang tumbuh tinggi, sebesar 64,46 persen yoy dan ekspor non migas tumbuh 28,39 persen yoy. 

Berdasarkan sektornya, sektor pertambangan mencatatkan pertumbuhan tertinggi mencapai 63,17 persen yoy, disusul sektor pertanian yang tumbuh 31,17 persen yoy dan manufaktur yang tumbuh sebesar 20,61 persen yoy.

“Capaian ini mencerminkan Indonesia masih menikmati keuntungan dari adanya kenaikan harga komoditas. Selain itu, pertumbuhan manufaktur juga mengindikasikan aktivitas ekonomi Indonesia yang bernilai tambah tinggi semakin meningkat,“ katanya dalam keterangan resmi, Senin (19/9/2022).

Di sisi lain, impor Indonesia juga mencatatkan kinerja positif dengan nilai sebesar US$22,15 miliar, tumbuh 32,81 persen yoy dan 3,77 persen mtm.

Peningkatan impor didorong oleh impor migas yang melonjak sebesar 80,63 persen yoy dan impor nonmigas tumbuh 26,11 persen yoy. 

Dengan perkembangan tersebut, Indonesia kembali mencatatkan surplus neraca perdagangan sebesar US$5,76 miliar pada Agustus 2022. Febrio memperkirakan, kinerja ekspor ke depan akan terus melanjutkan kinerja yang baik dari bulan sebelumnya. 

“Pemerintah akan terus mewaspadai dan memitigasi dampak risiko global terhadap kinerja ekspor secara menyeluruh, misalnya dengan terus memonitor perkembangan kebijakan perdagangan internasional terkait komoditas strategis Indonesia,“ kata dia. 

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal memperkirakan tren kenaikan harga komoditas ke depan akan mengalami pelemahan dan ini menjadi tantangan, baik bagi kinerja ekspor maupun neraca perdagangan Indonesia.

Di samping itu, permintaan dari negara besar juga diperkirakan cenderung tertahan, salah satunya dipengaruhi oleh kekhawatiran terhadap kondisi resesi ekonomi global. Respons dari negara maju, termasuk China, mempengaruhi permintaan masyarakat di negara-negara tersebut.

“Menurunnya permintaan tidak hanya di dalam negeri mereka, tetapi termasuk permintaan barang impor, termasuk dari Indonesia. Karena kekhawatiran menyebabkan penurunan dari sisi permintaan, volume menurun, harga komoditas juga akan terpengaruh,’ katanya kepada Bisnis, Senin (19/9/2022).

Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah perlu menyiapkan antisipasi ke depan untuk menghadapi situasi tersebut, tidak hanya untuk jangka pendek, tetapi juga untuk jangka panjang.

Pertama, yaitu melakukan transformasi ekspor ke produk manufaktur. Salah satu yang telah digalakkan pemerintah yaitu program hilirisasi. Namun, Faisal  mengatakan hilirisasi masih terbatas hanya pada sektor tambang. Hilirisasi perlu diperluas ke sektor lainnya, misalnya pertanian dan perkebunan.

“Yang sekarang sudah maju hilirisasinya di sektor sawit, tapi sebenarnya potensi kita masih jauh lebih banyak di luar sawit. Membangun industri hilir yang berorientasi ekspor. Jadi bukan industri hilir saja yang dibangun dan bukan hanya berorientasi di pasar domestik, tapi berorientasi pasar ekspor,” jelasnya.

Kedua, hilirisasi perlu dilakukan hingga ke tahapan produk yang memiliki nilai tambah yang paling tinggi. “Misalnya kalau nikel tidak cukup hanya sampai di pembuatan feronikel, tetapi juga sampai ke pembuatan baterai listrik,” tuturnya.

Ketiga, mendiversifikasi negara tujuan ekspor. Faisal mengatakan, hingga saat ini, ekspor Indonesia masih bergantung pada negara-negara mitra tradisional. 

Tidak hanya dari sisi besaran ekspor, namun kecepatan pertumbuhan ekspor ke negara mitra tradisional juga lebih besar dibandingkan dengan ke negara lainnya.

Dia menilai, pertumbuhan ekspor perlu didorong lebih cepat juga ke negara-negara non tradisional. Artinya, penjajakan, penetrasi ekspor, dan mendorong ekspor ke negara non tradisional menjadi penting, terutama untuk mendorong  produk manufaktur.

“Negara non tradisional banyak yang lebih cocok dari sisi keunggulan komparatifnya kalau kita mau mendorong ekspor manufakturnya, Sementara di negara maju, mereka sudah lebih mapan industri manufakturnya sehingga akhirnya kita banyak mengekspor komoditas,” kata Faisal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper