Bisnis.com, JAKARTA- Serikat Petani Indonesia (SPI) meminta pemerintah memberikan subsidi langsung kepada petani seiring dengan kenaikan Bahan Bakar Minyak atau BBM. Pasalnya, strategi pemberian bantuan langsung kepada masyarakat yang terdampak tidak cukup kuat untuk menghadapi gejolak yang ditimbulkan akibat kenaikan harga BBM, dan harga-harga lainnya.
Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional DPP SPI Mujahid Widian mengatakan kenaikan BBM jelas berpengaruh terhadap sektor pertanian. Hal itu bisa dilihat mulai dari komponen biaya produksi dan distribusi yang dikeluarkan oleh petani, di antarnya adalah biaya pembelian benih, pupuk, obat-obatan, bahan bakan untuk pompa air dan juga biaya transportasi pengangkutan hasil panen ke pasar.
“Sebelum BBM naik saja, beberapa harga input produksi tersebut sudah dahulu naik, rasanya mustahil untuk tidak terdampak pasca naiknya BBM,” ujar Widian kepada Bisnis, Kamis (8/9/2022).
Menurutnya, pemerintah harus belajar dari masa pandemi kemarin, ketika sektor pertanian mampu tumbuh positif di tengah ancaman krisis. Oleh karenanya, penting untuk mendorong subsidi langsung khusus kepada petani, hal ini bisa berupa subsidi input produksi, maupun jaminan harga di tingkat petani yang layak.
“Belum lagi dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk konsumsi rumah tangga. Meskipun terjadi deflasi pada Agustus 2022, hal ini akan memicu kenaikan harga kebutuhan pokok dan tentunya menambah beban keluarga petani ke depannya,” ujarnya.
Padahal, lanjut Widian, nilai tukar petani (NTP) pada Agustus 2022 baru mengalami kenaikan sebesar 106,31 atau naik 1,97 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Kenaikan NTP dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani mengalami kenaikan sebesar 1,28 persen sedangkan Indeks Harga yang Dibayar Petani mengalami penurunan sebesar 0,68 persen.
Baca Juga
Tercatat empat subsektor NTP mengalami kenaikan, yakni Tanaman Pangan (2,74 persen); Tanaman Perkebunan rakyat (5,86 persen); Peternakan (0,07 persen) dan subsektor perikanan (0,39 persen). Sementara itu, subsektor Hortikultura mengalami penurunan sebesar 7,38 persen.
Untuk subsektor tanaman pangan, meski terjadi kenaikan pada bulan Agustus 2022, namun besaran NTP ini masih berada di bawah standar impas. Kondisi tersebut tentu perlu mendapat perhatian dari pemerintah, mengingat kondisi ini sudah berlangsung selama 6 bulan terakhir atau sejak Maret 2022.
“Meskipun mencatatkan kenaikan 2,74 persen, namun NTP Subsektor Tanaman Pangan masih berada di bawah standar impas, yakni 97,90. Laporan dari anggota SPI menyebutkan faktor musim panen yang sudah lewat dan cuaca, mengakibatkan harga naik. Di beberapa wilayah, salah satunya Pati, banyak petani yang mengalami gagal panen akibat banjir dan perubahan cuaca,” jelasnya.
Disamping itu, Petani juga merasakan kenaikan indeks biaya produksi dan penambahan barang modal sebesar 0,23 persen, meskipun nilai pembelian kebutuhan konsumsi rumah tangga menurun sebesar 1,13 persen.
Kondisi tersebut tentu perlu mendapat perhatian dari pemerintah, mengingat NTP yang dibawah standar tersebut sudah berlangsung selama 6 bulan terakhir atau sejak Maret 2022. Sementara pada sisi lain, IRRI justru memberi penghargaan ke Pemerintah Indonesia karena capai swasembada pangan.
“Tentu hal yang tidak ideal, bila swasembada pangan tercapai, tetapi kesejahteraan petani padi tidak tercapai,” ujarnya.
Ke depan, kata Widian, pemerintah juga harus mendorong lahirnya kelembagaan ekonomi petani yang mandiri, mengingat industri pangan Indonesia saat ini masih dikuasai oleh korporasi, sehingga upaya menjamin ketersediaan pangan sebagai hajat hidup rakyat banyak dikesampingkan.
“SPI mengapresiasi upaya pemerintah untuk mendorong gerakan koperasi sebagai kelembagaan ekonomi petani dan masyarakat perdesaan, yang orientasinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini sudah diinisiasi dari komoditas sawit, dan harapannya terus berlanjut untuk komoditas-komoditas lainnya yang menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia” tuturnya