Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terus berupaya untuk mengurangi backlog keterhunian yang saat ini mencapai 12,75 juta hunian.
Direktur Rumah Umum dan Komersial Kementerian PUPR Fitrah Nur mengatakan salah satu upaya yang dilakukan Kementerian PUPR untuk mengurangi backlog dengan program sejuta rumah yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak tahun 2015 lalu.
Selain itu, Kementerian PUPR juga mendorong masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki rumah layak huni.
Salah satunya dengan melakukan inovasi penyediaan hunian layak bagi MBR berpendapatan tidak tetap atau informal.
“Jika sektor MBR informal ini dapat dipetakan lebih rinci, pasti akan lebih mudah menjangkau mereka dalam pembiayaan KPR oleh perbankan. Kita ambil contoh petani bisa masuk dalam kategori MBR informal karena tidak memiliki slip gaji, namun sebenarnya kemampuan bayar mereka cukup tinggi, jadi mungkin solusi yang tepat adalah pemetaan sektor MBR informal untuk selanjutnya dijadikan grand design perumahan segmen MBR informal,” ujarnya, Senin (15/8/2022).
Wakil Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Moderod menuturkan pihaknya tengah mendorong program untuk memudahkan masyarakat, khususnya pekerja untuk mendapatkan perumahan layak huni, khususnya apartemen dengan cara menyewa untuk kemudian memiliki atau rent to own.
Baca Juga
Selain itu, program sejuta rumah rakyat juga terus dikerjakan sesuai dengan target yang sudah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo.
“Program sejuta rumah yang sedang berjalan dan on the right track, peningkatan selama pandemi sedikit melambat, tapi selama pandemi salah satu bidang usaha yang masih positif adalah di bidang properti, termasuk di bidang perumahan masyarakat berpenghasilan rendah,” katanya.
Kalangan MBR informal berkontribusi sebesar 60 persen atau 6,83 juta unit rumah dari total backlog perumahan.
Kelompok ini dinilai membutuhkan bantuan negara secara langsung untuk memiliki rumah.
Secara rinci, MBR tersebut memiliki penghasilan bulanan mulai dari Rp 1,2 juta sampai Rp 2,6 juta.
Moerod menghitung kemampuan MBR informal dalam melakukan cicilan per bulan hanya sekitar Rp100.000 per bulan hingga Rp700.000 per bulan.
Di samping itu, MBR sektor formal berkontribusi sebanyak 33 persen dari total backlog perumahan membutuhkan bantuan negara berupa subsidi kredit pemilikan rakyat (KPR).
MBR sektor formal umumnya memiliki pekerjaan sebagai buruh pabrik atau karyawan perusahaan level bawah.
Panel ahli Katadata Insight Center Mulya Amri memaparkan berdasarkan riset yang dilakukan, harga tanah menjadi hambatan utama dalam penambahan pasokan rumah untuk MBR.
Hambatan lainnya terkait kemampuan daya beli MBR yang selalu tertinggal dari kenaikan harga lahan dan bangunan.
Karena itu, keberpihakan pemerintah dan dukungan perbankan sangat penting dalam mendukung kepemilikan rumah untuk segmen MBR.
Pasalnya, 84 persen dari backlog atau kekurangan rumah di Indonesia didominasi oleh MBR.
“Peran vital pemerintah dan lembaga perbankan sangat krusial untuk mengatasi backlog. Dibutuhkan lembaga perbankan yang berkomitmen menyalurkan kredit konstruksi dan KPR bersubsidi. Inovasi sumber pendanaan harus menjadi fokus utama untuk kurangi beban APBN. Penyertaan Modal Negara dan kecukupan modal perbankan bisa mendukung cita-cita mulia pemerintah mewujudkan tempat tinggal yang layak huni untuk masyarakat berpenghasilan rendah,” tuturnya.
Untuk dapat mengurangi backlog, pemerintah perlu mendukung ketersediaan lahan untuk pembangunan hunian MBR. Lalu dilakukan pengembangan hunian vertikal harus diwujudkan dengan melibatkan pengembang skala besar.
“Regulasi pemerintah harus sejalan dengan tujuan penambahan pasokan hunian MBR dan inovasi sumber pendanaan harus menjadi fokus utama mengurangi beban APBN,” ucapnya.
Selain itu, pemerintah perlu mengkaji pentingnya keberadaan bank khusus perumahan rakyat yang saat ini merupakan core business dari Bank BTN.
Oleh sebab itu, PMN dan kecukupan modal perbankan dapat mendukung cita-cita pemerintah mewujudkan tempat tinggal layak huni bagi MBR.