Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah tengah mematangkan aturan penghapusan bea balik nama kendaraan atas kendaraan bekas.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyampaikan, bila Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Atas Kendaraan Bekas (BBN 2) dihapus, dampaknya tak terlalu signifikan terhadap pendapatan daerah. Pasalnya, tarifnya hanya 1 persen dari Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB).
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Bina Keuangan Daerah Kemendagri Agus Fatoni menyampaikan, banyak masyarakat yang tidak segera melakukan balik nama terhadap kendaraan bekas yang dibelinya.
"Pemerintah daerah (pemda) juga tidak mendapatkan pendapatan dari BBN 2 dan data kepemilikan kendaraan bermotor juga tidak akurat, karena sudah berpindah tangan tapi tidak terdata," katanya dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (14/8/2022).
Menurut Fatoni, selama ini pemilik kendaraan justru enggan melakukan balik nama atas kendaraan bermotor yang diperoleh lantaran adanya kebijakan BBN 2. Sedangkan dampaknya, selain tak mendapatkan pendapatan dari BBN 2, pemda juga kehilangan potensi dari pajak kendaraan bermotor (PKB).
Disebutkan Tim Pembina Samsat Nasional yang terdiri dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kemendagri, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri dan PT Jasa Raharja telah melakukan kajian penghapusan Pajak Progresif dan BBN 2.
Baca Juga
Adapun tujuan dihapuskannya BBN 2 adalah untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat mengurus administrasi balik nama kendaraan yang telah membeli kendaraan bermotor dari pihak lain.
Tim Pembina Samsat Nasional, lanjut dia, juga telah melakukan sosialisasi ke beberapa daerah dan dia mengklaim beberapa gubernur pada prinsipnya setuju.
Dia menilai, penghapusan itu penting dilakukan guna meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam membayar PKB dan BBN 2 serta mendapatkan data potensi kendaraan bermotor yang akurat.
Penghapusan pajak progresif diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Adapun strategi yang dilakukan adalah menertibkan data kendaraan bermotor. Pasalnya, selama ini pemerintah provinsi sering memberikan keringanan berupa pemutihan.
Kendati demikian, keringanan tersebut dinilai tidak efektif, mengingat masyarakat cenderung menunda pembayaran pajak lantaran menunggu pemutihan.
"Karena masyarakat yang mempunyai kendaraan lebih dari satu biasanya cenderung tidak mendaftarkan kepemilikan tersebut atas namanya, tapi menggunakan nama/ KTP orang lain (untuk menghindari pajak progresif) sehingga pemda tidak mendapatkan hasil dari pajak progresif tersebut. Selain itu, data regident kendaraan bermotor juga menjadi tidak akurat sehingga berpengaruh terhadap pendataan jumlah potensi data kendaraan bermotor," ujar Fatoni.