Bisnis.com, JAKARTA - Transisi energi sedang berlangsung di seluruh dunia yang ditandai dengan pergeseran besar dari bahan bakar fosil ke sumber terbarukan. Berdasarkan publikasi Inventing Tomorrow's Energy System dari PwC, transisi energi memerlukan perumusan strategi baru yang inovatif, didukung modal dan regulasi serta model bisnis guna menciptakan nilai baru.
B20 Indonesia Energy, Sustainability and Climate Task Force (ESC TF) telah menekankan pentingnya mempercepat transisi ke penggunaan energi yang berkelanjutan sebagai faktor kunci dalam mencegah bencana pemanasan global dan perubahan iklim, namun, penting bagi negara ekonomi maju dan berkembang di G20 untuk bekerja sama memastikan dalam periode transisi ini tidak ada bagian dunia yang tertinggal dalam menghadapi tantangan perubahan iklim serta tetap mempertahankan akses ke energi yang aman dan terjangkau.
Chair B20 Indonesia Shinta Kamdani mengatakan terus mendorong kolaborasi dalam menyongsong transisi energi yang adil untuk mencapai satu visi pertumbuhan ekonomi yang adil dan inklusif dan berkelanjutan. Komitmen Indonesia dalam transisi energi menuju energi hijau dan mencapai nol bersih tahun 2060 sudah digaungkan sejak COP 26 di Glasgow tahun lalu.
“B20 Indonesia bertujuan untuk menyoroti lebih jauh pentingnya pasokan energi bersih dan berkelanjutan di masa depan. ESC TF telah merumuskan secara komprehensif kebutuhan dan cara untuk mempercepat transisi energi yang berkelanjutan, adil dan terjangkau serta untuk mengatasi kelangkaan energi. Task Force juga berhasil merangkum berbagai aspek pendukung dan hambatan, mulai dari regulasi, teknologi dan skema harga,” ujar Shinta saat membuka side event ESC TF, Rabu (10/8/2022).
Dalam acara bertajuk “Accelerating the Transition to Sustainable Energy Use” yang diselenggarakan oleh PwC Indonesia sebagai Knowledge Partner B20 Indonesia, Shinta meyakini rekomendasi kebijakan dari ESC TF ini memuat kunci-kunci utama bagaimana penggunaan energi masa depan menjadi efisien dan berkelanjutan.
Transisi Energi yang Adil dan Inklusif
Shinta menegaskan perlunya kolaborasi yang kuat antara sektor publik dengan sektor swasta di seluruh dunia untuk memitigasi kendala dan kekhawatiran dalam transisi energi termasuk akses ke energi bersih, dukungan pendanaan dan teknologi. B20, lanjut Shinta, menggandeng erat L20 yang menekankan bahwa transisi energi harus memperhatikan masyarakat luas dan sedang mengembangkan rekomendasi untuk mengurangi dampak keuangan dan mengatasi hilangnya mata pencaharian akibat transisi energi.
“Sebagai Presidensi B20-G20, Indonesia memiliki kesempatan untuk membangun gerakan internasional yang lebih kuat di transisi energi menuju masa depan energi yang berkelanjutan melalui lebih banyak menjalin kerjasama untuk memfasilitasi akses ke layanan energi yang terjangkau dan inklusif, menciptakan pendidikan, inovasi teknologi dan terobosan yang bagus dengan merumuskan strategi yang konsisten dan jangka panjang" jelasnya.
Selain itu, B20 Indonesia juga menaruh perhatian yang kuat pada ketahanan energi. Shinta menyoroti konstelasi geopolitik dan geoekonomi yang bisa menciptakan ketidakpastian terhadap produksi dan konsumsi energi sehingga perlu kolaborasi dan partisipasi untuk membangun ketahanan energi di masa mendatang, terutama energi baru terbarukan.
B20 Indonesia, kata Shinta, meminta dukungan dan kolaborasi semua kepala negara dan pebisnis dunia, untuk mencapai pemulihan ekonomi dan menghadapi krisis global, salah satunya melalui legacy dan rekomendasi kebijakan yang akan dibawa ke KTT G20. Presidensi B20 Indonesia juga sambung Shinta menyoroti beberapa legacy program yang berpotensi besar bisa dilakukan kolaborasi.
Pertama terkait The Carbon Center of Excellence untuk menavigasi topik perdagangan karbon melalui pusat pengetahuan dan pusat berbagi praktik terbaik. Kedua, menginisiasi Global Blended Finance Alliance untuk SDGs sebagai salah satu terobosan dalam pendanaan yang merupakan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga filantropi, akademisi dan pemangku kebijakan lainnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan transisi energi harus dilakukan dalam upaya menghindari dampak dari perubahan iklim yang mengakibatkan bencana global. Namun, kata Arsjad, terdapat kesenjangan pembiayaan antara negara maju dan berkembang dalam upayanya mengatasi perubahan iklim.
“Kesenjangan pembiayaan ini perlu diatasi melalui kolaborasi bersama antara negara maju dengan negara berkembang. Selain persoalan pembiayaan, transfer pengetahuan dan teknologi juga diperlukan untuk membangun kapabilitas dan adopsi teknologi baru dalam bidang energi hijau serta digitalisasi di negara-negara berkembang,” jelas Arsjad.
Arsjad mengajak semua pihak untuk ambil bagian dalam pengembangan ekonomi dan menahan laju emisi yang kian hari makin memprihatinkan. Untuk transisi energi menuju net zero emission pada 2060, Indonesia hingga saat ini masih membutuhkan investasi sekitar US$25 miliar per tahun. Komitmen dan target itu bisa tercapai melalui kolaborasi yang kuat antara sektor swasta dan publik serta pihak internasional untuk membangun lingkungan hijau.
“Indonesia telah terbukti memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar di pembangkit listrik tenaga air, panas bumi, angin dan tenaga surya dan itulah jalan kami harus memilih. Indonesia adalah masa depan energi terbarukan pemasok terbesar di Asia Tenggara dan dunia,” ujarnya.
Lebih lanjut, Arsjad mengatakan KADIN Indonesia sebagai sebagai perwakilan dunia bisnis memiliki peranan sentral untuk membantu mendorong Indonesia mencapai komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) dan berkomitmen untuk menjadi Net Zero Organization pada 2060. Terkait inisiatif Net Zero, KADIN Indonesia kata Arsjad memiliki Net Zero Hub.
“Inisiatif KADIN Net Zero Hub ini memiliki peran sentral untuk mengajak setiap perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan pemimpin di Indonesia, untuk turut membuat komitmen nol emisi. KADIN Net Zero Hub akan memiliki tiga aspek kunci. Pertama, sebagai inisiatif strategis KADIN. Kedua, sebagai pusat publikasi KADIN terkait net zero. Ketiga, sebagai jembatan antara dunia usaha dengan pemerintah untuk mencapai net zero, sekaligus peluang untuk menciptakan nilai tambah,” ujarnya.
Peran Strategis Sektor Bisnis
Sementara itu, President Director PT Pertamina (Persero) sekaligus Chair of Task Force Energy, Sustainability and Climate (TF ESC) B20, Nicke Widyawati mengatakan peran bisnis dalam agenda transisi energi selaras dengan isu prioritas Pokja Transisi Energi. Komunitas bisnis sangat fundamental untuk 3 pilar utama transisi energi, yaitu mengamankan aksesibilitas energy, peningkatan teknologi energi cerdas dan bersih serta pembiayaan energi terdepan.
Dari ketiga pilar tersebut, saat ini TF ESC B20 merumuskan dalam bentuk rekomendasi dan tindakan menjadi tiga prioritas utama, yaitu; pertama, mempercepat transisi ke penggunaan energi berkelanjutan dengan mengurangi intensitas karbon. Hal ini dapat dicapai dengan efisiensi energi, pengurangan bertahap pembangkit listrik tenaga batu bara yang tidak efisien, mitigasi emisi pada sektor-sektor yang sulit dikurangi, kemudahan aliran pembiayaan, dan teknologi inovasi iklim.
Rekomendasi kedua, untuk memastikan transisi yang adil, teratur, dan terjangkau menuju penggunaan energi yang berkelanjutan. Hal ini dapat dicapai dengan menangani 4 bidang utama, yaitu transisi yang teratur dalam sumber energi primer, partisipasi UMKM dalam transisi energi, kesiapan transisi tenaga kerja, dan praktik pertambangan yang berkelanjutan.
Lalu rekomendasi ketiga, untuk meningkatkan akses bagi konsumen untuk mengkonsumsi energi yang bersih dan modern. Hal ini dapat didukung dengan menerapkan solusi energi terintegrasi, akses energi bersih untuk rumah tangga dan UMKM serta transisi dengan basis yang luas.
“Oleh karena itu, akan sangat dihargai untuk memperoleh dukungan dari komunitas bisnis melalui kolaborasi intra-negara untuk mempercepat akses pada tingkat konsumen ke solusi energi bersih dan modern, seperti teknologi hemat energi yang terjangkau untuk rumah tangga dan UMKM. Hal ini sangat bermanfaat untuk rekomendasi kami,”ujar Nicke.
Sacha Winzenried, B20 Team Leader untuk PwC sebagai Knowledge Partner untuk Energy, Sustainability & Climate Task Force dan Energy, Utilities & Resources Advisor di PwC Indonesia menambahkan, “Mendapatkan transisi energi yang tepat sangat penting dalam banyak dimensi: teknologi, strategi, lingkungan dan ekonomi. Skala besar dari investasi yang dibutuhkan khususnya di negara berkembang, menjadi jelas, dan begitu juga manfaatnya. Meski kebutuhan untuk mempercepat transisi menuju energi berkelanjutan tidak lagi dipertanyakan, masih banyak tantangan ke depan jika langkah transisi tersebut tidak sesuai dengan target global. G20 memiliki peran besar dalam memastikan ekonomi maju dan berkembang memiliki akses ke pendanaan dan kemajuan teknologi yang diperlukan sehingga dapat memastikan transisi yang adil dan terjangkau untuk semua.”
Acara sampingan ini juga menghadirkan beberapa pembicara lainnya seperti Yanto Kamarudin, Partner, Energy, Utilities & Resources, PwC Indonesia; Yudo Dwinanda Priaadi, Chair of G20 Energy Transition Working Group Kementerian ESDM; Agung Wicaksono, Deputy Chair of B20 Energy, Sustainability and Climate Task Force and Managing Director PT Jababeka Infrastruktur; Florian Kitt, Senior Energy Specialist Asian Development Bank.
Hadir juga Zainal Arifin, Executive Vice President Engineering and Technology PT PLN; Febriany Eddy, President Director - CEO PT Vale Indonesia Tbk and Co-Chair B20 Energy, Sustainability and Climate Task Force dan Oki Muraza, Energy, Sustainability and Climate Task Force Policy Manager and SVP of Research & Technology PT Pertamina.