Bisnis.com, JAKARTA – Laju pertumbuhan ekonomi Korea Selatan meningkat pada kuartal II/2022, ditopang oleh pengeluaran rumah tangga dan pemerintah. Hal ini memberikan ruang bagi bank sentral untuk terus menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi.
Dilansir Bloomberg pada Selasa (26/7/2022), Bank of Korea (BOK) melaporkan produk domestik bruto (PDB) Korsel tumbuh tumbuh 0,7 persen pada April-Juni 2022 dibandingkan kuartal sebelumnya, bahkan ketika perang Rusia Ukraina membuat harga energi melonjak dan lockdown di China mengganggu rantai pasokan.
Data ini melampaui proyeksi ekonom yang memperkirakan kenaikan PDB 0,4 persen. Dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy), PDB tumbuh 2,9 persen.
Analis Meritz Securities Yoon Yeo-sam mengatakan data PDB kuartal II ini cukup mengejutkan dan ini terjadi karena adanya lonjakan dari permintaan yang terpendam sebelumnya.
“Pertumbuhan yang lebih cepat dari perkiraan memungkinkan bank sentral untuk tetap fokus mengendalikan inflasi yang didorong oleh permintaan,” ungkap Yeo-sam seperti dikutip Bloomberg.
Data PDB Koresel ini menunjukkan bahwa ekonomi sedang melewati siklus pengetatan selama setahun dan kemungkinan akan mendorong para bank sentral untuk terus melakukan pengetatan moneter guna mengatasi inflasi yang berjalan pada laju tercepat dalam lebih dari dua dekade.
Baca Juga
Sebelumnya, BOK menaikkan suku bunga acuan 50 basis poin pertama kalinya pada pertemuan kebijakan 13 Juli lalu.
Data PDB tersebut menunjukkan warga Korsel meningkatkan pengeluaran setelah penyebaran Covid-19 varian omicron yang membebani perekonomian di kuartai I/2022 mulai mereda. Parlemen juga menyetujui anggaran tambahan terbesar pada bulan Mei, membantu usaha kecil sambil menjaga peraturan Covid tetap longgar.
Namun, ekspor secara riil menurun karena ekonomi yang bergantung pada perdagangan berada di bawah tekanan dari kenaikan harga energi dan komoditas yang dipicu oleh perang Rusia terhadap Ukraina.
Eksportir juga menghadapi risiko berkurangnya permintaan global sebagai tanggapan terhadap kebijakan pengetatan Federal Reserve dan bank sentral lainnya dengan cepat.
Ekspor turun 3,1 persen, dengan permintaan produk kimia dan logam berkurang. Sementara itu, impor turun 0,8 persen, dipimpin penurunan impor minyak mentah dan gas alam. Investasi fasilitas turun 1 persen.
Konsumen domestik menghadapi lingkungan yang menantang karena inflasi mengikis daya beli mereka dan bank sentral terus meningkatkan suku bunga. Mata uang won mencatat kinerja terburuk di Asia setelah yen sepanjang tahun ini, sehingga membuat impor lebih mahal untuk rumah tangga dan produsen.
Namun, Presiden Yoo Suk Yeol berencana untuk bersikap konservatif pada pengeluaran stimulus setelah utang Korsel membengkak di bawah pemerintahan pendahulunya Moon Jae-in.