Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani bertemu dengan Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen saat melakukan pertemuan bilateral di sela-sela agenda 3rd FMCBG G20 Indonesia di Nusa Dua, Sabtu (16/7/2022).
Sri Mulyani dan Janet Yellen membahas sejumlah isu berkaitan dengan pembiayaan transisi energi bersih, krisis energi hingga pangan bersama. Menurut Sri Mulyani, pembiayaan energi bersih saat ini relatif mahal dan perlu dukungan dari seluruh dunia untuk mempercepat peralihan menuju pembangkit listrik nol emisi karbon.
“Ini membutuhkan pembiayaan yang besar. Di Indonesia, salah satu langkah nyata yang akan dilakukan, yaitu Energy Transition Mechanism (ETM) yang dicanangkan bersama Asian Development Bank (ADB),” kata Sri dikutip dari akun instagram pribadinya @smindrawati, Sabtu (16/7/2022).
Selain itu, Sri mengatakan, dirinya juga berdiskusi intens dengan Janet berkaitan dengan krisis pangan dan energi pada tahun ini. Kedua menteri keuangan itu sepakat upaya de-eskalasi perang yang kini masih terjadi di Ukraina dapat memperbaiki situasi krisis yang sudah terlanjur serius pada pertengahan tahun ini.
“Kami berdua sepakat bahwa penyebab krisis pangan dan energi yang terjadi merupakan konsekuensi dari isu geopolitik yang belum mengalami de-eskalasi,” kata dia.
Dalam konferensi pers di Nusa Dua, Bali, Kamis (14/7/2022), Yellen menyatakan bahwa kondisi yang terjadi hari ini merupakan efek negatif dari invasi yang dilakukan Rusia. Kondisi tersebut lantas membuat harga energi melambung dan meningkatnya kerawanan pangan.
“Tantangan terbesar hari ini datang dari tindakan ilegal Rusia dalam perang tak beralasan melawan Ukraina. Kami melihat efek negatif dari perang itu di setiap sudut dunia, terutama terkait dengan harga energi yang lebih tinggi, dan meningkatnya kerawanan pangan,” ujarnya.
Menurut Yellen, dampak tersebut juga tercermin dari data Departemen Tenaga Kerja AS yang menunjukkan bahwa indeks harga konsumen (CPI) AS naik 9,1 persen pada Juni 2022. Ini merupakan lonjakan terbesar sejak 1981.
Dibandingkan bulan sebelumnya, CPI AS naik menjadi 1,3 persen atau terbesar sejak 2005. Adapun CPI inti, yang menghilangkan komponen makanan dan energi yang lebih mudah berubah, naik sebesar 0,7 persen secara bulanan dan 5,9 persen secara tahunan.
Angka inflasi ini berada di atas median proyeksi ekonom dalam survei Bloomberg yang memperkirakan CPI AS naik 8,8 persen pada Juni. Sementara itu jika dibandingkan Mei, CPI sebelumnya diperkirakan naik 1,1 persen dan CPI inti diperkirakan naik 0,5 persen.