Bisnis.com, JAKARTA — Draf Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) atau Omnibus Law Keuangan dinilai bermasalah.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dan Co-Founder Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai draf Omnibus Law Keuangan masih berisi pasal-pasal yang tidak mendorong penguatan lembaga dan sektor keuangan, justru melemahkan.
"Partisipasi rakyat dalam penyusunan RUU PPSK atau Omnibus Law Keuangan sangat minim. Draf aturan yang ada pun mengancam independensi sejumlah lembaga, sehingga menimbulkan masalah yang pelik," ujar Achmad dalam keterangan resmi, pada Kamis (7/7/2022).
Salah satu contohnya penghapusan Pasal 47 huruf c terkait larangan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) menjadi pengurus dan/atau anggota partai politik dapat memperburuk kondisi bank sentral.
Lalu, terdapat poin lepasnya APBN penyehatan bank gagal berdampak sistemik, yang membuat beban kewajibannya ada di BI dan Lembaga Penjamin Simpanan [LPS].
Achmad merekomendasikan sejumlah poin perbaikan untuk Omnibus Law Keuangan, terutama dengan melibatkan partisipasi rakyat secara maksimal.
Baca Juga
Rekomendasi pertamanya adalah aturan itu jangan sampai menambah kekuatan absolut kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dengan ketua menteri keuangan, dalam penentuan seluruh kebijakan.
Dia menilai Menteri Keuangan adalah bagian alat politik pemerintah yang selalu melihatnya siklus lima tahunan dan seringkali abai melihat keberlanjutan perekonomian di masa depan.
"Oleh karena itu, niat pengembangan sistem keuangan jangan disusupi niat penguatan otoritas eksekutif dengan mengurangi kewenangan institusi lain, seperti BI dan OJK," imbuhnya.
Menurutnya, DPR dan pemerintah jangan mengartikan penanganan krisis jangan sebagai pelimpahan kewenangan penuh kepada eksekutif, sehingga eksekutif berpotensi menjadi abuse of power. Salah satu contohnya penanganan krisis tidak dapat hanya dilakukan oleh KSSK yang tidak memiliki dewan pengawas.
"Saat ini, tidak ada dewan pengawasan dalam KSSK. DPR RI hanya menerima hasil laporannya saja tanpa disertai data pembanding dari struktur pengawasan lain di luar menteri keuangan, BI, dan OJK," katanya.
Omninbus Law Keuangan pun turut berisi aturan penguatan kewenangan LPS, termasuk dalam menentukan penggunaan dana LPS untuk penyelamatan bank gagal. Menurut Achmad, LPS sendiri masih dipertahankan di bawah pemerintah, sehingga aturan itu terbilang sebagai penguatan eksekutif.
Penguatan kelembagaan LPS juga perlu disertai penguatan kelembagaan yang tidak lagi di bawah pemerintah, tetapi menjadi badan khusus di luar pemerintahan.
"Di mana LPS dan OJK perlu memiliki lembaga pengawas independen yang melaporkan [kinerjanya] kepada DPR," kata Achmad.
Lalu, draf RUU PPSK menurutnya harus tidak melemahkan independensi bank sentral atas nama stabilitas sistem keuangan. BI dan OJK harus mampu menjaga independensinya agar pengaruh eksekutif tidak semakin besar dan mengaburkan kepentingan jangka panjang atas stabilitas keuangan.
"Jangan demi memuaskan syahwat jangka pendek dari eksekutif pemerintahan, yaitu menang pemilu lima tahunan," katanya.