Bisnis.com, JAKARTA - Bisnis hewan kurban amat menarik. Keuntungannya selangit. Karena itu, momentum Iduladha setahun sekali tersebut selalu dinanti-nantikan banyak pihak: belantik, pedagang perantara dan musiman, dan peternak (sapi/kerbau/kambing/domba).
Seperti galibnya dalam komoditas pangan, distribusi keuntungan bisnis hewan kurban selama ini tidak adil.
Porsi keuntungan terbesar dinikmati pedagang (perantara dan musiman), belantik, dan juga pejagal, bukan oleh peternak. Ini terkait mata rantai pasokan ternak yang panjang dari peternak ke konsumen, sehingga transparansi harga, cara bayar, kualitas, dan risiko usaha tidak diketahui peternak. Pendek kata, sistem distribusi hewan kurban masih jauh dari kaidah efisiensi.
Ada 3 tujuan distribusi: memaksimalkan akses konsumen atas komoditas, mampu menyampaikan hasil-hasil dari produsen ke konsumen dengan biaya distribusi minimal, dan mengupayakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen akhir kepada semua pihak yang terlibat kegiatan produksi dan distribusi barang sesuai peranan masing-masing. Sistem distribusi dinilai efisien dan efektif bila memenuhi ketiga syarat itu.
Inefisiensi dan inefektivitas dalam bisnis hewan kurban dipastikan jauh dari memadai. Ini semua tidak bisa dilepaskan dari karakteristik bisnis hewan kurban. Pertama, konsumen hewan kurban umumnya orang awam. Mereka tidak memiliki “ilmu” menaksir berat badan dan karkas (daging) ternak hidup. Sebaliknya, ilmu taksir-menaksir menjadi makanan sehari-hari para pejagal, belantik, dan pedagang. Ke-awam-an konsumen ini mudah di-“eksploitasi” oleh penjual. Bentuknya macam-macam, yang paling sering tentu eksploitasi harga.
Kedua, bisnis hewan kurban tidak mengenal hukum supply-demand. Penjual akan menawarkan harga hewan kurban setinggi-tingginya kepada pembeli. Penjual sadar para pembeli selain “awam”, mereka “orang-orang mampu” dan berdaya beli tinggi. Hampir pasti konsumen membeli, tidak mungkin menangguhkan berkurban tahun depan.
Baca Juga
Jika harga tidak terjangkau, konsumen akan mengalihkannya kepada ternak yang lebih murah. Selain itu, transaksi jual-beli hewan kurban terjadi dalam kurun waktu pendek. Ini membuat penjual dalam posisi tawar tinggi. Penjual memiliki kekuatan besar untuk mempermainkan harga.
Karena karakteristik itu, harga daging (baca: hewan kurban) saat Iduladha dipastikan lebih mahal ketimbang menjelang atau saat Idulfitri. Anehnya, meskipun harga melambung pemerintah tidak sibuk seperti menghadapi Idulfitri. Saat Idulfitri, kenaikan harga daging membuat pemerintah panik. Agar tidak berdampak besar pada inflasi, pemerintah menggelar operasi pasar, mengerahkan swasta dan sejumlah BUMN untuk mengguyur pasar dengan daging sapi. Bahkan, merelaksasi semua hambatan pemasukan sapi-daging dari luar negeri.
Situasi Iduladha tahun ini pasti amat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan mencolok adalah adanya wabah penyakit mulut dan kuku (PMK). Pertama kali terdeteksi akhir April 2022 di Jawa Timur, PMK terus menebar teror. Pada 11 Mei 2022, Kementerian Pertanian menetapkan 6 kabupaten di dua provinsi (Jatim dan Aceh) terjangkit wabah PMK.
Mengacu data siagapmk.id, 25 Juni 2022, sebaran meluas di 19 provinsi dan 216 kabupaten/kota dengan 262.121 ekor hewan dinyatakan terjangkit PMK. Ini terdiri 83.894 ekor sembuh, 2.449 ekor potong bersyarat, 1.501 ekor mati, dan 174.277 ekor belum sembuh.
Mengacu data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan pada 24 Mei 2022, total pemotongan hewan kurban tahun ini diperkirakan 1.722.982 ekor, naik dari 2021 (1.640.935 ekor). Potensi ketersediaan hewan kurban tahun ini mencapai 1.731.594 ekor. Ini terdiri dari 656.002 ekor sapi, 15.491 kerbau, 664.263 kambing, dan 395.839 domba.
Dengan masifnya penularan PMK, potensi ini bisa jadi berkurang. Sebab, 5 dari 19 provinsi yang terjangkit (Jatim, Jateng, NTB, Sumatra Utara, dan Lampung) adalah provinsi berpopulasi ternak terbesar. Sapi misalnya, mencapai 55 persen dari total populasi.
DIAWASI KETAT
Di sisi lain, pada wilayah yang terjangkit pasar ternak ditutup dan pergerakan hewan dan produk hewan diawasi ketat. Presiden Jokowi bahkan memerintahkan untuk dilakukan kuncitara lokal untuk wilayah merah. Untuk mengendalikan penyebaran PMK, Kementan menerbitkan surat edaran pengaturan lalu lintas (darat, laut, dan udara) hewan rentan, produk hewan, dan media pembawa yang berisiko tinggi.
Juga surat edaran tata laksana kurban dan pemotongan hewan dalam situasi wabah PMK. Panduan ini penting agar ada keseragaman. Karena kebijakan masing-masing lembaga pemerintah, termasuk provinsi, kabupaten/kota beraneka macam. Akan tetapi, surat edaran pada 18 Mei 2022 itu sepertinya kurang efektif.
Berpijak dari kondisi ini, Satgas PMK yang diumumkan dibentuk pada 23 Juni lalu harus sigap bekerja. Struktur Satgas yang mirror Satgas Covid-19 mestinya bisa segera aktif, terutama di daerah. Termasuk segera memastikan petunjuk operasional ganti rugi Rp10 juta per ekor ternak yang dimusnahkan karena PMK. Ganti rugi ini diharapkan membuat peternak tidak ragu menyerahkan ternak yang terjangkit PMK untuk dimusnahkan.
Bagi peternak, ternak itu adalah harta berharga yang dimanfaatkan saat terdesak. Mustahil mereka mau menyerahkan tanpa ganti rugi.
Keberadaan Satgas diharapkan bisa menutup minimnya infrastruktur kesehatan hewan, terutama dokter hewan, di daerah. Ujung dari semua ini, diharapkan penanganan PMK lebih baik. Dan Iduladha tidak jadi momok penyebaran PMK.