Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Krisis Pandemi dan Resesi, Ini Beda Indonesia dengan Sri Lanka dan Pakistan

Indonesia dinilai memiliki perbedaan dalam menghadapi gejolak ekonomi dibandingkan dengan Sri Lanka dan Pakistan.
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta. Bisnis/Arief Hermawan P
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu membeberkan perbedaan antara Indonesia dengan Sri Lanka dan Pakistan dalam menghadapi krisis pandemi Covid-19 dan gejolak global yang tengah terjadi saat ini.

Febrio menyampaikan Indonesia termasuk kategori yang cukup resilient dalam menghadapi kondisi yang ada saat ini.

"Terkait dengan Sri Lanka dan Pakistan, perlu kami sampaikan bahwa Indonesia termasuk kategori yang cukup resilient menghadapi  krisis pandemi dan gejolak global saat ini," kata Febrio dalam konferensi pers APBN Kita Juni 2022, dikutip Jumat (24/6/2022).

Pertama, pengelolaan kebijakan baik makro maupun moneter Indonesia sangat bijaksana dan konservatif  sejak lama.

Dari sisi fiskal misalnya, bahkan sejak periode sebelum pandemi Covid-19, kebijakan fiskal Indonesia sudah sangat disiplin.

Febrio mengatakan defisit Indonesia selalu berada di bawah 3 persen dari PDB. Demikian pula dengan utang negara yang juga berada di bawah 30 persen dari PDB.

"Dibandingkan dengan Sri Lanka dan Pakistan,   di 2019 saja utang pemerintah masing-masing  sudah melebihi 87 dan 86 persen dari PDB nya. Ini sudah 3 kali lipat dari Indonesia, ini bahkan sebelum pandemi," ungkapnya.

Sebelum pandemi Covid-19 merebak, defisit fiskal Sri Lanka di 2019 sudah mencapai 9,6 persen, sementara di Pakistan mencapai 9,1 persen.

Disinilah perbedaannya, bagaimana disiplin fiskal Indonesia memang menjadi modal bagi perekonomian untuk menghadapi ketidakpastian, baik sepanjang 2020-2021 lalu hingga ke depannya.

Di lain sisi, pengelolaan kebijakan moneter Indonesia juga sangat konservatif, independen, dan kredibel.

Menurut Febrio, Bank Indonesia (BI) cukup disiplin dalam menjaga stabilitas inflasi dengan skema target inflasi.

"Inflasi kita selama lima tahun terakhir selalu terjaga  di bawah 5 persen," ujarnya.

Berbagai proyeksi lembaga-lembaga internasional juga menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang cukup kuat dalam menghadapi krisis global saat ini.

Sebagaimana diketahui, neraca berjalan Indonesia konsisten mengalami surplus pada 2022. IMF (International Monetary Fund) bahkan memprediksi surplus Indonesia bisa mencapai 3 persen dari PDB.

Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksi berada di atas 5 persen. Alhasil, kata Febrio, tidak adil jika membandingkan kondisi Sri Lanka  dan Pakistan dengan Indonesia.

Selain itu, Indonesia diuntungkan dari sisi penerimaan negara dan perdagangan karena Indonesia merupakan eksportir terbesar beberapa komoditas seperti nikel, tembaga, batu bara, dan CPO. Ketika harga komoditas melambung tinggi, maka penerimaan dan perdagangan Indonesia bakal meningkat.

Meskipun begitu, Febrio menegaskan Indonesia tetap harus waspada dan memonitor secara intensif dinamika global saat ini.

Dia menyampaikan APBN akan selalu siap menjadi shock absorber guna menjaga kesehatan dan keberlanjutan fiskal Indonesia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper