Indonesia melakukan pembaruan sistem perpajakan dengan keluarnya beberapa beleid perpajakan pada 1983 yaitu Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Pajak Penghasilan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Perubahan itu sangat fundamental sehingga Ong Hok Ham (2002) seorang sejarawan dan cendekiawan Indonesia memberikan catatan tahun tersebut sebagai tahun perpajakan.
Perubahan sistem perpajakan tersebut secara signifikan dan komprehensif menempatkan pembayar pajak sebagai subjek yang memiliki hak dan kewajiban, berbeda dengan pajak era kolonial yang hanya menjadikan mereka sebagai objek. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak bertindak selaku otoritas.
Perubahan berikutnya yang sangat fenomenal yaitu diadopsinya Pajak Pertambahan Nilai atau Value Added Tax sejak 1 April 1985 untuk menggantikan pajak penjualan. PPN dikenakan pada setiap tingkatan produksi maupun distribusi tetapi tidak menimbulkan efek berganda sehingga lebih fair.
Berikutnya pada 1994, 1997, 2000, dan 2002 dilakukan berbagai variasi perubahan tergantung kondisi yang dihadapi seperti pengenaan PPh final, perubahan lapisan penghasilan kena pajak, batas Penghasilan Kena Pajak (PKP) untuk PPh, perluasan mekanisme pemotongan/pemungutan (withholding tax), memperjelas ketentuan subjek dan objek PPN, hingga pengadilan pajak.
Hal ini dilakukan sebagai upaya meningkatkan partisipasi masyarakat, demi terciptanya pemerataan pendapatan dan kemandirian pembiayaan anggaran belanja negara.
Kondisi fiskal Indonesia berbalik setelah itu. Jika sebelumnya penopang pendapatan negara bertumpu pada sumber daya alam terutama sektor migas pada saat bonanza minyak, penerimaan perpajakan 1981 hanya 28,4% dari total penerimaan negara menjadi dominan setelah reformasi. Saat ini penerimaan perpajakan mencapai lebih 70% pendapatan negara, sedangkan penerimaan sumber daya alam kian menciut.
Baca Juga
Adanya pandemi yang diakibatkan oleh virus Covid 19 mengakibatkan perlambatan ekonomi global dan negara kita terkena imbasnya membuat pemerintah membuat terobosan dengan keluarnya Perpu No. 1/2020 yang kemudian menjadi UU No. 2/2020 dan mengubah wajah perpajakan atas konsumsi di Indonesia, dengan pengenaan PPN atas transaksi digital atau Perdagangan Menggunakan Sarana Elektronik atau PPN PMSE.
Upaya mendorong investasi dan memperkuat perekonomian Indonesia melalui kemudahan berusaha melahirkan omnibus law yaitu UU Cipta Kerja yang salah satunya mengatur klaster perpajakan disusul dengan UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Jika selama ini, aturan perpajakan terbagi dalam beberapa UU, dengan omnibus law ini, materi terkait PPh, PPN, dan KUP diatur dalam satu peraturan.
Reformasi di bidang kebijakan dengan memperluas basis pajak untuk menjawab tantangan yang ada dengan memberikan insentif pajak yang tepat sasaran, terukur namun adaptif dengan dinamika perpajakan global, insentif pajak fokus pada sektor yang bernilai tambah tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja, dan mengurangi distorsi serta memperbaiki progresivitas pajak.
Selain pembenahan regulasi, perubahan organisasi, pembenahan sumber daya manusia, perbaikan proses bisnis, penyesuaian teknologi informasi dan basis data dilakukan Ditjen Pajak secara berkesinambungan mengikuti perkembangan ekonomi, politik, teknologi, dan sosial kemasyarakatan sebagai persiapan menghadapi masa depan yang kian menantang di era digital.
Reorganisasi dimulai pada 2002 dengan mendirikan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar (Large Taxpayer Office) dan KPP Madya sesuai dengan karakteristik wajib pajak yang ditangani, meleburkan Kantor Pemeriksaan Pajak dan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan ke dalam KPP Pratama. Struktur organisasi di kantor pelayanan pajak yang tadinya berdasarkan jenis pajak diubah berdasarkan fungsi.
Dengan peningkatan beban kerja dan tantangan ke depan akibat pesatnya perkembangan ekonomi digital sehingga otoritas perpajakan meluncurkan program Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau Core Tax System yang rencananya akan mulai diimplementasikan pada 2023.
Integrasi data yang lebih baik dipercaya dapat mengatasi persoalan rendahnya rasio pajak saat ini. Jika berjalan sesuai rencana, masyarakat dapat menikmati layanan yang lebih mudah, andal, terintegrasi, dan akurat. Proses bisnis akan diotomatisasi mulai dari proses pendaftaran wajib pajak, pemrosesan surat pemberitahuan dan dokumen perpajakan lainnya, pemrosesan pembayaran pajak, dukungan pemeriksaan dan penagihan, hingga fungsi taxpayer accounting.
Dengan reformasi, akan terwujud institusi perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel serta menjalankan proses bisnis yang efektif dan efisien, membangun sinergi yang optimal antarlembaga, meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang pada akhirnya meningkatkan penerimaan negara dan meningkatkan rasio pajak.