Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengatakan impor baju bekas telah memberikan pukulan telak kepada industri kecil menengah (IKM). Sebab, di Indonesia produsen pakaian 80 persen adalah IKM.
Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan pakaian impor bekas telah memangkas 12-15 atau 250.000-an pangsa pasar IKM dari total produksi pakaian jadi sebesar 2,8 juta pcs per bulan. Kementerian Perdagangan diminta tegas dan apparat penegak hukum tegas dalam menegakkan aturan.
“Dampaknya ke kita harusnya beli produksi kita tapi akhirnya beli impor. Sebab produsen pakaian pakaian ini kan adalah IKM, 80 persen sisanya besar. Kalau secara nilai 60 persen, tapi volume 80 persen IKM yang bikinnya. Kalau negara kalah, IKM jadi korban,” ujar Redma saat dihubungi, Kamis (16/6/2022).
Menurut Redma, akibat pembiaran impor pakaian bekas ini, akan menimbulkan efek domino.
“Di daerah daerah pinggiran, mereka bikin toko sendiri second branded. Ada harganya Rp30.000, 40.000. Jaket besar harganya segitu. Gak mungkin segitu kan, bahannya aja gak ngejar. Mereka ngambil market 12-15 persen IKM, berarti sekitar 250.000 kali aja US$3-5 dolar. Belum efek ke kain, benang atau ke hulunya,” jelas Redma.
Terkait impor pakaian bekas sendiri, sejatinya pemerintah telah melarang hal tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Namun menurut Redma Kemendag tidak pernah mengusut hal tersebut.
Baca Juga
“Sebenarnya bukan karena permintaan [impor baju bekas] tapi karena importir tidak pernah ditindak tegas. Masyarakat kan membeli apa yang ada di pasar. Itu alasan dari orang-orang pemerintah, bea cukai, [bilangnya] ada permintaan,” ujar Redma.
Redma menduga, derasnya pakaian impor bekas ini juga disebabkan pihak Kemendag dan apparat seperti Bea Cukai serta impor berkongkalingkong.
“Pedagang [pakian bekas impor] itu kan ada di Senen. Kemendag berapa kilo sih dari Senen. Di sana ada Direktorat Pengawasan Niaga dan Direktorat Perlindungan Konsumen. Ada ketidakmampuan dan permainan mata di antara aparat dengan para importir ini,” ungkap Redma.
Dia menilai seharusnya Kemendag mengkoordinir apparat agar hal ini tidak terus terulang. Pasalnya fenomena maraknya impor pakaian bekas sudah bertahun-tahun.
“Saya pikir orang Bea Cukai tahu siapa saja importirnya. Kan ada pengawasan dan perlindungan konsumen, ada dua direktorat itu di Kemendag. Mereka yang mengoordinasikan aparat. Cuma tidak pernah ditindak, kalau mereka bermain mata ya wassalam,” ujar Redma.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR-RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel menyayangkan masih terjadi impor pakaian bekas di Indonesia, padahal itu melanggar peraturan dan mengancam keberadaan industri garmen kecil dan rumahan. "Ini sangat merugikan industri garmen rumahan yang berskala UMKM dan juga tidak ramah lingkungan," kata Rachmat Gobel melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (12/6/2022).
Dia mengatakan masih maraknya impor pakaian bekas dengan nilai triliunan rupiah, bahkan angkanya terus meningkat sejak 2017.
Dia juga menyebutkan, pakaian bekas berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan karena di negara asalnya dikategori limbah dan sampah. "Tak semua pakaian bekas itu bisa layak pakai dan akan menjadi sampah bagi Indonesia," katanya.