Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tak Bisa Atasi Krisis Pangan, SPI Usul Indonesia Keluar dari WTO

Indonesia dinilai perlu keluar dari WTO karena tidak bisa menjadi solusi atasi krisis pangan.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)./Istimewa
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Serikat Petani Indonesia (SPI) mengusulkan pemerintah keluar dari Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Pasalnya, WTO dinilai hanya membuat dunia terus-menerus berada dalam krisis pangan.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) menyatakan bergabungnya Indonesia ke dalam WTO telah mendorong upaya liberalisasi dalam perekonomian Indonesia, termasuk sektor pertanian, dan pangan.

“Sejak itu terjadi peningkatan gelombang impor pangan atau produk-produk pertanian ke Indonesia, terutama ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997 yang memaksa Indonesia semakin tergantung pada WTO, pada International Monetary Fund (IMF), dan World Bank (Bank Dunia),” kata Henry dalam siaran pers, Selasa (14/6/2022).

Diketahui, pada 13 Juni 2022 lusa kemarin, Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) alias Organisasi Perdagangan Dunia yang ke-12 telah berlangsung di Jenewa, Swiss. Konferensi multilateral yang mempertemukan perwakilan pemerintah seluruh anggota WTO ini akhirnya terselenggara setelah ditunda selama dua tahun akibat pandemi.

Henry mengatakan Indonesia telah resmi bergabung menjadi anggota WTO sejak tahun 1995 melalui peratifikasian perjanjian WTO dalam UU No. 7/1994.

Alhasil, menurut Henry ndonesia pun kemudian menjalankan agenda, deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi. Akhirnya Indonesia menjadi negara pengimpor gandum, kedelai, daging sapi, bahkan garam dan sayuran menjadi salah satu produk impor yang terus meningkat volumenya.

Henry Saragih kemudian mencontohkan kasus perdagangan produk sawit dapat menjadi contoh betapa ketergantungan pangan dunia terhadap pasar internasional yang dikuasai korporasi global mengakibatkan krisis pangan.

“Akibat tingginya nilai crude palm oil di pasar internasional, produsen CPO lebih cenderung menjual produknya ke pasar internasional yang membuat kelangkaan dan naiknya harga minyak goreng di pasar domestik,” katanya.

Selanjutnya, kata dia, pemerintah merespon dengan mengeluarkan larangan ekspor CPO yang justru berdampak pada penurunan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Bahkan setelah pasar ekspor CPO dibuka, harga TBS masih rendah, namun harga minyak goreng masih tinggi.

“Petani kelapa sawit merupakan pihak yang paling dirugikan dalam kasus ini, karena di satu sisi mereka merupakan konsumen dan di sisi lain adalah produsen bahan pokok tersebut,” ucapnya.

Henry menegaskan, fenomena ini terjadi akibat kebijakan liberalisasi yang membuat kelapa sawit didominasi oleh korporasi-korporasi raksasa dan global. Imbasnya, kebijakan perkelapasawitan dikendalikan oleh korporasi global yang tujuannya hanya untuk memaksimalisasi keuntungan dalam setiap kesempatan meskipun dalam keadaan perang ataupun situasi lainnya.

“Perkebunan rakyat yang berskala kecil akhirnya hanya bisa mengikuti arus kebijakan dari korporasi tersebut. Oleh karena itu, perkebunan sawit harus diserahkan pengelolaannya kepada petani dan dikelola usaha secara koperasi mulai dari urusan tanaman, pabrik CPO dan turunannya, yang mana dukungan dari pemerintah bersifat mutlak dalam hal ini,” paparnya.

Lebih lanjut, Henry juga menyoroti pembentukan UU Cipta Kerja melalui cara Omnibus Law. WTO dan lembaga-lembaga multilateral lainnya secara tidak langsung mengubah UU Pangan No. 18 tahun 2012, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani No.19 tahun 2013, dan UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan No. 22 Tahun 2019 supaya tidak lagi membatasi impor pangan dan peralatan pertanian di Indonesia.

“Karena itu UU Cipta Kerja No. 11/2020 yang sudah inkonstitusional bersyarat jangan sampai dihidupkan kembali,” paparnya.

Dia menambahkan, sebagai sebuah negara yang petaninya didominasi oleh para petani gurem, pemerintah Indonesia harus membangun menegakkan konsep kedaulatan pangan yang termakhtub dalam UU No. 18/2012, yang sejalan dengan UU Pokok Agraria No. 5/1960 dan UUD 1945, serta Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP) yang telah dikeluarkan pada 2018.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Indra Gunawan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper