Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) pun meminta agar pemerintah segera dapat menerbitkan keputusan tentang harga baru rumah subsidi. Terlebih 90 persen anggota Apersi ini merupakan pengembang rumah subsidi.
Ketua Umum DPP APERSI Junaidi Abdillah mengatakan saat ini kondisi pengembang sangat terjepit dalam membangun rumah subsidi di tengah kenaikan harga material bangunan dan lahan yang berlipat ganda yang berdampak pada turut naiknya biaya produksi rumah subsidi.
Selain itu, belum ada penyesuaian harga rumah dalam waktu tiga tahun terakhir. Hal ini membuat para anggota Apersi tidak maksimal dalam memproduksi rumah subsidi.
“Kami tidak bermaksud menghambat kenaikan produksi rumah tetapi memang produksi yang sekarang ini costnya sangat tinggi. 3 tahun belum ada penyesuaian harga, kami masih bisa mengerti dan prihatin tidak ada penyesuaian harga selama 2 tahun karena covid, tetapi kondisi sekarang ini yang tidak bisa dihentikan kaitannya kondisi harga material dan harga tanah. Daripada kami membangun, untuk beli lagi tak cukup,” ujarnya, Senin (13/6/2022).
Naiknya biaya produksi rumah subsidi ini tentu berdampak pada pasokan program sejuta rumah yang tersendat sejak April 2022. Seretnya pasokan rumah subsidi juga karena banyaknya pengembang yang menahan diri untuk berproduksi.
Kendati demikian, pada prinsipnya, Apersi tak bermaksud menghambat masyarakat berpenghasilan rendah dalam memiliki rumah. Namun kenyataannya, untuk membangun sebuah rumah subsidi saat ini membutuhkan biaya produksi yang sangat tinggi.
“Setelah dihantam pandemi Covid-19 dan praktis menyetop produksi, kami kini juga dihantam kenaikan harga bahan bangunan dan lahan. Sebagian besar memilih bertahan, namun ada banyak pengembang lain yang sekarat dan gulung tikar. Ini tentu berdampak pada suplai rumah subsidi yang berkurang sejak April kemarin,” katanya.
Para pengembang yang tidak mampu membangun produksi rumah subsidi karena sudah tidak lagi memiliki sumber daya di tengah naiknya harga material dan lahan.
Junaidi khawatir pemulihan ekonomi nasional (PEN) akan mengalami perlambatan jika surat keputusan penyesuaian harga tidak kunjung diterbitkan,
Apersi sendiri telah mengajukan penyesuaian harga baru rumah subsidi sebesar 7 persen hingga 10 persen yang diklaim telah disetujui oleh Menteri Keuangan.
Pihaknya mendorong agar Kementerian Keuangan segera mendorong pengeluarkan Surat Keputusan (SK) penyesuaian harga baru rumah subsidi.
“Bayangkan, kami memiliki anggota 3.500 pengembang. Satu proyek perumahan saja, melibatkan 100 tenaga kerja. Jika seluruh pengembang berproduksi, maka ada 350.000 tenaga kerja yang terserap,” tutur Junaidi.
Saat ini para pengembang membangun rumah subsidi agar operasional perusahaan dapat berjalan saja. Namun, untuk dapat membangun rumah subsidi sebanyak mungkin belum bisa dilakukan karena tentu membutuhkan biaya produksi yang sangat besar.
“Pengembang tidak akan memaksimalkan penjualan karena sehabis produksi terjual untuk produksi lagi tidak ada biaya. Jadi penjualan yang sekarang ini hanya untuk memenuhi kewajiban kepada karyawan dan perbankan. Ini hanya menghabiskan stok material dan cadangan lahan,” ucapnya.
Apabila harga rumah subsidi tak segera dinaikkan, maka target Program Sejuta Rumah (PSR) di tahun ini diyakini tak akan tercapai.
Adapun hingga Juni, rumah subsidi terbangun tidak sampai 60.000 unit dari total 200.000 unit target tahun 2022.
Apabila target PSR tidak tercapai, maka berdampak pada backlog hunian di Indonesia akan terus bertambah.
Tahun 2019, berdasarkan survei yang dilakukan pemerintah terdapat 14 juta orang yang belum memiliki hunian (backlog). Pembangunan rumah yang mampu direalisasikan hanya 20 persen dari target PSR 1 juta unit per tahun.
Wakil ketua Umum Apersi Bidang Perizinan dan Pertanahan Bambang Setiadi menambahkan selain terkait penyesuaian harga baru rumah subsidi, hambatan dalam produksi rumah subsidi juga dikarenakan perizinan yakni terkait implementasi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) melalui Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG).
“Ada sejumlah daerah yang belum paham, dan malah merekomendasikan kami untuk kembali kepada peraturan lama. Ini kan menambah beban biaya produksi lagi, dan menghambat realisasi PSR. Masa transisi relaksasi perizinan ini masih ada kendala,” ujarnya.
Dia berharap pemerintah sungguh-sungguh mendukung para pengembang rumah subsidi.
Terlebih, pengadaan rumah tinggal menjadi sebuah kewajiban negara yang sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1 berbunyi setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
“Ini perlu apresiasi sejumlah pihak. Instrumen lainnya seperti perizinan legalistas pertanahan perlu beriringan,” tuturnya.