Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai pemerintah perlu memangkas asumsi pertumbuhan ekonomi 2022 di kisaran 4–4,5 persen (year-on-year/yoy).
Berdasarkan outlook 2022, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,8 hingga 5,5 persen untuk 2022.
Bhima menuturkan, beberapa lembaga internasional akan melakukan proyeksi yang lebih rendah atau downgrade dari pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Karena sejauh ini memang relatif ya, dampak terhadap inflasinya dari konflik perang di Ukraina, shortage food supply, kemudian kenaikan harga minyak mentah yang tinggi. Ini dirasakan secara signifikan di dalam negeri," kata Bhima kepada Bisnis, Kamis (9/6/2022).
Sejumlah lembaga internasional, seperti OECD dan Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022.
Menurut Bhima, proyeksi OECD jauh lebih realistis dibandingkan proyeksi pemerintah.
OECD dalam laporannya memangkas estimasi PDB Indonesia dari 5,2 persen menjadi 4,7 persen. Bank Dunia juga menurunkan angka proyeksinya menjadi 5,1 persen untuk 2022 atau turun 0,1 poin persentase (pp) dari proyeksi sebelumnya.
Di lain sisi, jika melihat tantangan di semester II/2022, kata Bhima, ada beberapa hal yang perlu diwaspadai. Misalnya, dampak dari kenaikan tingkat suku bunga di negara maju yang berpengaruh terhadap aliran modal dan juga realisasi investasi.
Kedua, adalah cost of fund dari pelaku usaha dan konsumen yang akan naik. Dengan demikian, jika cost of fund naik, ekspansi dan permintaan kemungkinan akan terganggu. Risiko lainnya ada pada masalah administered prices.
"Berapa lama pemerintah bisa menahan gejolak harga minyak mentah yang membuat harga keekonomian dan harga jual terutama BBM subsidi, tarif dasar listrik dan LPG 3 kg ini tidak melebar," jelas dia.
Apalagi, terjadi migrasi besar-besaran, konsumen yang tadinya menggunakan non-subsidi sekarang beralih ke subsidi. Semua ini, kata Bhima tergantung dari ruang fiskal untuk menjadi buffer dan itu memiliki imbas yang penting untuk mengendalikan daya beli masyarakat dan menjaga tingkat inflasi agar relatif lebih terkendali.
"Kalau melihat dari cadangan devisanya memang masih bagus, masih tinggi. Tapi kita masih melihat banyak downside risk terutama juga isu resesi AS yang mungkin akan berpengaruh terhadap berbagai indikator termasuk juga kinerja ekspor ke negara-negara mitra dagang utama," pungkasnya.