Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Direktur Bisnis WhatsApp, Neeraj Arora menyebut Facebook sebagai Frankerstein yang melahap data pengguna. Dia pun mengungkapkan penyesalan karena telah membantu negosiasi perusahaan bentukan Mark Zuckenberg mengakusisi WhatsApp.
Adapun Frankerstein adalah tokoh dalam novel buatan Mary Shelley. Dia merupakan monster ciptaan seorang ilmuwan yang terobsesi dengan kehidupan abadi.
Hal tersebut disampaikan Neeraj melalui utas akun Twitternya, @neerajarora. Dia menceritakan pengalamannya dalam membantu negosiasi penjualan WhatsApp ke Facebook senilai US$22 miliar.
Neeraj bergabung ke WhatsApp pada 2009, lalu menduduki posisi Chief Business Officer of pada 2011. Dia bercerita bahwa Mark Zuckerberg dan tim Facebook mendekati WhatsApp untuk membahas akuisisi pada medio 2012—2013.
Kala itu WhatsApp menolak tawaran akuisisi dan memilih untuk tetap mengembangkan perusahaannya. Akan tetapi, Facebook tak patah arang, hanya sekitar satu tahun mereka kembali mendatangi WhatsApp.
“FB mendekati kami lagi pada awal 2014 dengan sebuah penawaran yang membuatnya terlihat seperti kemitraan,” tulis Neeraj dalam akun Twitternya, dikutip pada Sabtu (7/5/2022).
Dia mencontohkan lima poin penawaran Facebook kepada WhatsApp saat itu, yakni dukungan penuh terhadap sistem end-to-end encryption. Lalu, Facebook pun menjanjikan tidak akan ada iklan di WhatsApp, selamanya, jika akuisisi terjadi.
Facebook pun menawarkan independensi sepenuhnya bagi WhatsApp dalam menentukan keputusan produk. Kemudian terdapat tawaran kursi direksi bagi salah satu pendiri WhatsApp, Jan Koum, serta kantor khusus di Mountain View, Amerika Serikat.
Pembahasan terus berlanjut dan WhatsApp menekankan tiga poin penting jika ingin akuisisi terealisasi, yakni tidak ada penambangan data pengguna, tidak ada iklan selamanya, dan tidak ada pelacakan lintas platform (cross platform tracking).
“FB dan manajemennya setuju dan kami berpikir mereka [Facebook] percaya terhadap misi kami. Tentu saja, bukan itu yang terjadi,” katanya.
Dia menjelaskan bahwa pada 2017 dan 2018 muncul ketidaksesuaian dengan harapan pihaknya, terutama ketika skandal Facebook/Cambridge Analytica mencuat. Terjadi pengumpulan informasi 87 juta pengguna Facebook yang menjadi ‘senjata’ untuk memengaruhi pandangan pemegang hak pilih sesuai keinginan politisi yang meneken kontrak dengan raksasa teknologi itu.
Salah seorang pendiri WhatsApp, Brian Acton bahkan menyebut bahwa kejadian itu menjadi momentum untuk menghapus akun Facebook. Dia sangat memperhatikan isu keamanan data pribadi dari pengguna WhatsApp, yang kemudian menjadi ‘milik’ Facebook pasca akuisisi terjadi.
Neeraj menyebut bahwa kini WhatsApp menjadi platform terbesar kedua milik Facebook—lebih besar dari Instagram dan FB Messenger. Dia pun mengakui penyesalannya ketika WhatsApp menjadi bagian dari Facebook.
“Perusahaan teknologi harus mengaku ketika mereka melakukan kesalahan. Tidak ada yang tahu pada awal mula bahwa Facebook akan menjadi Frankenstein yang melahap data pengguna dan memuntahkan uang kotor,” tulisnya.