Bisnis.com, JAKARTA - Pada perayaan HUT ke-49, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) memberikan enam catatan terhadap pemerintah terkait pertanian.
"HKTI mencatat setidaknya ada enam isu yang perlu kita perhatikan terkait pertanian," Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon melalui cuitannya @fadlizon, Rabu (27/4/2022).
Pertama, sektor pertanian Indonesia selalu berada di perbatasan krisis. HKTI menilai, Sepanjang pandemi Covid-19, semua sektor kehidupan terdampak sangat keras.
Menurut Fadli, perekonomian nyaris tak bergerak sama sekali. Namun, di tengah pertumbuhan ekonomi yang minus 2,07 persen itu, sektor pertanian justru bisa terus tumbuh positif 1,75 persen dan bahkan melakukan ekspor.
"Masalahnya adalah pertumbuhan positif itu tidak banyak korelasinya dengan tingkat perbaikan kesejahteraan petani. HKTI mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) kita, terutama subsektor tanaman pangan, hortikultura, serta peternakan, seringkali berada di bawah 100 poin. Artinya, mereka merugi," katanya.
Untuk meningkatkan kesejahteraan petani, terutama petani subsektor pangan, HKTI melihat perlu dan pentingnya pemberian subsidi output, yaitu berupa pemberian insentif harga gabah yang menguntungkan petani, minimal 15 persen dari harga pokok produksi.
Baca Juga
"Itu sebabnya aturan harga pembelian pemerintah (HPP) harus segera direvisi," imbuh Fadli dalam cuitan lainnya.
Selain itu, kata Fadli, HKTI berharap petani juga diberikan akses untuk menguasai rantai produksi hingga beras, bukan gabah seperti yang terjadi saat ini.
Kedua, HKTI menilai perlunya data amnesty pertanian untuk memperbaiki data pertanian Indonesia. Fadli menilai. Kebijakan ini harus dituangkan dalam bentuk undang-undang agar posisinya kuat.
"Ketiga, reformasi pupuk bersubsidi. Dalam pandangan HKTI, subsidi pupuk selama 5 tahun terakhir rata-rata sebesar Rp30 Triliun per tahun. Namun, di lapangan selalu terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi saat menjelang musim tanam," cuit Fadli.
Menurutnya, Pemerintah selalu beralasan bahwa kelangkaan terjadi karena jumlah pupuk bersubsidi yang diajukan sebesar 23 juta ton, sedangkan yang disediakan hanya 9 juta ton.
Keempat, lindungi petani unggas dari jerat harga pakan, terutama yang dialami petani unggas karena selalu mengalami paceklik pakan jagung dan harga jual yang melorot jauh dibawah HPP.
"Kelima, Badan Pangan Nasional harus diberi kewenangan yang cukup untuk mengelola sektor pangan. Akhir Juli 2021, setelah 9 tahun menanti, akhirnya terbit Peraturan Presiden No 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional yang merupakan amanah dari UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan," tulis Fadli dalam kicauannya.
Menurutnya, HKTI menyambut baik dan memandang penting kehadiran Badan Pangan Nasional ini, serta siap berpartisipasi aktif dan terlibat langsung di dalamnuya.
Keenam, kata Fadli, HKTI memandang kebijakan sektor sawit jangan sampai merugikan petani.
Dia menilai, kebijakan pemerintah untuk melakukan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan juga ekspor minyak goreng untuk mengatasi stok di dalam negeri justru merugikan bagi para petani sawit.
"Larangan ekspor bukanlah solusi, karena penyebab kelangkaan minyak goreng di dalam negeri bukanlah jumlah stok, melainkan soal penegakan hukum terkait kewajiban DMO (Domestic Market Obligations). HKTI mendesak kepada pemerintah untuk segera merevisi kebijakan larangan ekspor ini," ungkapnya.