Bisnis.com, JAKARTA - Kini muncul perbedaan pandangan yang beredar di masyarakat yang disparitas pengetahuannya sangat berbeda atas penyebab naiknya harga minyak goreng.
Sebagian berpandangan bahwa adanya mafia minyak goreng. Ada pula berpendapat kenaikan harga minyak goreng disebabkan oleh menurunnya produksi sawit dan meningkatnya permintaan di pasar Eropa.
Mafia atau kartel minyak goreng memang bisa saja benar ada, dan hal ini sedang ditelisik oleh pihak yang berwenang. Dalam teori ekonomi, kemungkinan adanya rent seeker sudah termasuk dalam kerangka pemikiran ekonomi pada hukum penawaran-permintaan. Mungkin pemerintah dapat berusaha untuk mengatasi eksternalitas pencari rente dengan mengurangi asimetri informasi antara penawaran dan permintaan pada minyak goreng. Disini, peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha menjadi sangat penting.
Perlu kita ingat kembali, bahwa produk turunan minyak sawit tidak hanya minyak goreng semata. Minyak nabati ini sudah lama digunakan sebagai campuran pada bio solar dan produk dasar pada industri makanan dan kecantikan. Kenaikan harga minyak bumi, tentu bisa menggerek pengalihan pemanfaatan minyak sawit menjadi produk yang memiliki tingkat keekonomian yang lebih tinggi seperti biosolar.
Sebenarnya, akar permasalahan minyak sawit dapat dianalogikan sama dengan permasalahan pada batu bara. Harga kedua komoditas ini naik luar biasa secara global, sementara kita juga memiliki kebutuhan di dalam negeri. Hanya saja berbeda pada batu bara, penetapan DMO (domestic market obligation) hanya terdampak pada institusi besar terbatas seperti PLN, sehingga lebih mudah untuk dikendalikan oleh pemerintah.
Sebaliknya, penggunaan minyak goreng itu dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia sehingga membuat permasalahan menjadi lebih kompleks. Pemerintah sendiri melalui APBN berkeinginan untuk menyerap (absorb) tekanan kenaikan harga minyak goreng ini dengan memberikan subsidi dan mekanisme pengaturan Harga Eceran Tertinggi (HET). Namun, tidak mudahnya mekanisme kontrol dapat mengakibatkan kebocoran subsidi melalui orang-orang yang melakukan rent seeker melalui penimbunan minyak goreng.
Kenaikan harga minyak goreng yang bisa sampai 100 persen tentu mengakibatkan kejutan pada ekonomi rumah tangga karena minyak goreng merupakan kebutuhan pokok dan memberi dampak ke masyarakat luas. Tentu ini digunakan sebagian politisi untuk meraup simpati masyarakat.
Sayangnya, simpati ini tidak didasarkan pada pemahaman yang tepat, hanya berdasarkan pandangan populis semata. Seakan-akan memihak kepada masyarakat banyak, padahal pada akhirnya bisa jadi bumerang seperti zaman orde baru dahulu. Pendapat politisi agar pemerintah mengambil jalan keras untuk memaksa para pengusaha besar di bidang minyak sawit untuk menurunkan harga minyak goreng, merupakan langkah yang jauh dari kaidah ekonomi yang wajar.
Tindakan represi terhadap sisi supply untuk menurunkan harga sebenarnya tidak jauh dari kebijakan dari diktator pada negara penganut sosialis. Adalah baik untuk memahami permasalahan ini secara komprehensif dan mencoba mencari solusi yang tidak melanggar logika dalam ekonomi.
Dalam hal menyikapi kenaikan harga minyak goreng, pemerintah sudah mengambil kebijakan yang kurang tepat dengan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pada bulan Januari 2022 lalu. Niat pemerintah memang mulia, yaitu berusaha mengendalikan harga minyak goreng. Namun yang terjadi justru minyak goreng tidak dapat ditemui di pasar.
Peristiwa ini menunjukkan mekanisme pasar memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan intervensi pemerintah. Apalagi tidak ada mekanisme yang memadai dalam pengawasan pelaksanaan ketentuan yang ditetapkan pemerintah tersebut.
Penetapan Harga Eceran Tertinggi biasanya kita temukan pada obat-obatan. Kenapa obat-obatan dapat diregulasi dengan HET sementara belum pernah kita temui pengaturan HET atas sembako seperti minyak goreng? Pada intinya yang pertama, elastisitas permintaan kedua barang ini berbeda. Kedua, barang substitusi obat tersedia sangat banyak di pasar.
Kedua alasan ini pula yang menyebabkan penetapan HET minyak goreng pada Januari 2022 lalu justru menjadi bumerang bagi pemerintah. Minyak goreng menjadi langka dan tidak dapat ditemukan di pasar. Saat penetapan HET dicabut, harga minyak goreng langsung melejit. Pandangan ini mengabaikan ketentuan HET yang diatur pemerintah pada minyak goreng curah karena pada kenyataannya minyak goreng curah dengan HET juga tidak dapat ditemui dengan mudah di pasar. Memang elastisitas permintaan saat penetapan dan penarikan HET perlu diteliti lebih lanjut.
Pembelajaran ekonomi Indonesia dalam sejarah menunjukkan bahwa subsidi bukan merupakan tools jangka panjang yang baik dalam pembangunan.
Itulah sebabnya, pemerintah lebih memilih untuk memberikan bantuan sosial yang bersifat langsung kepada masyarakat yang membutuhkan. APBN selalu siap sebagai shock absorber. Hal ini diperlukan untuk menghindari dampak sistemik yang lebih dalam pada masyarakat. Shock absorber ini lebih bersifat sementara, sampai kemudian pasar menemukan titik keseimbangannya.