Bisnis.com, JAKARTA - Ekonomi Rusia mengalami goncangan dalam sebulan terakhir sejak invasinya ke Ukraina.
Namun, di sisi lain, Rusia akan menikmati neraca perdagangan yang gemilang jika beberapa mitra dagangnya melanjutkan impor energi dari Kremlin.
Di tengah kesulitan konsumsi dan sanksi fiskal, Bloomberg Economics memperkirakan Rusia akan mengantong hampir US$321 miliar atau Rp4.590 triliun (kurs Rp14.300/US$) dari ekspor komoditas energi tahun ini.
Jumlah tersebut meningkat lebih dari tiga kali lipat dibadingkan dengan tahun 2021. Rusia pun diperkirakan akan transaksi berjalan yang surplus. Institute of International Finance (IIF) memperkirakan surplus transaksi berjalan akan mencapai US$240 miliar.
"Penggerak tunggal terbesar dari surplus transaksi berjalan Rusia terus terlihat solid,” kata ekonom IIF yang dipimpin oleh Robin Brooks dalam sebuah laporan yang dikutip Bloomberg.
“Dengan sanksi saat ini, arus masuk substansial mata uang yang kuat ke Rusia tampaknya akan terus berlanjut.” Namun, di sisi lain, ekspor dan produksi Rusia telah mengalami penurunan.
Baca Juga
Badan Energi Internasional memperkirakan Rusia akan kehilangan hampir seperempat dari produksi minyak mentahnya bulan ini.
Banyak pelanggan tradisional dari Rusia yang mencari pemasok lain dan memilih untuk tidak menandatangani kontrak baru untuk pasokan Rusia di tengah kecaman luas atas agresi Presiden Vladimir Putin.
Namun, mitra dagang Rusia seperti India mendapatkan diskon besar-besaran dari kondisi ini.
Sebagai catatan, minyak dan gas menyumbang separuh dari penerimaan ekspor negara ini. Tidak hanya itu, kontribusinya terhadap penerimaan negara mencapai 40 persen.
“Pendapatan hidrokarbon adalah penopang ekonomi Rusia, membantu meredam dampak sanksi berat dan mencegah krisis neraca pembayaran. Tetapi, bahkan tanpa embargo energi, inflasi melonjak dan resesi yang dalam membayangi [ekonomi Rusia]," ungkap Ekonom Bloomberg Economics Scott Johnson.
Kombinasi dari depresiasi rubel yang tajam dan harga dolar yang lebih tinggi untuk minyak akan menghasilkan tambahan 8,5 triliun rubel (US$103 miliar) dalam pendapatan anggaran tahun ini.
“Kementerian Keuangan akan menggunakan sebagian untuk meredam pukulan tetapi [akan tetap] hati-hati agar tidak memicu inflasi lebih lanjut,” kata Madina Khrustaleva, seorang analis di TS Lombard di London.
Goldman Sachs Group Inc., yang merevisi ke atas perkiraan surplus transaksi berjalan Rusia tahun ini menjadi US$205 miliar, mengatakan mungkin cukup bagi Bank Rusia untuk memenuhi permintaan sektor swasta akan valuta asing dan pada akhirnya memungkinkan untuk melonggarkan kontrol modal di dalam negeri.
Dengan konsumen Rusia yang sudah terperangkap dalam rentetan guncangan dari inflasi hingga penurunan pendapatan, ekonom Goldman memperkirakan adanya penurunan impor sebesar 20 persen tahun ini, dua kali lipat penurunan ekspor yang diperkirakan.
Menurut catatan TS Lombard, neraca dagang yang sehat tidak akan menyelamatkan Rusia dari resesi ekonomi yang dalam, tetapi membantu mempertahankan pengeluaran pemerintah pada saat pemerintah tidak memiliki akses ke pasar modal internasional.
Analis TS Lombard mengatakan nilai tukar rubel secara efektif didukung oleh arus modal yang masuk saat ini karena sanksi pembekuan sebagian besar cadangan mata uang bank sentral.
Kemampuan Rusia untuk menjual minyak dan gas ke luar negeri mungkin menjadi satu-satunya hal yang menjaga ekonomi agar tidak jatuh ke dalam krisis keuangan yang lebih buruk.
IIF, sebuah asosiasi lembaga keuangan terbesar di dunia, mengatakan embargo energi oleh Uni Emirat Arab, Inggris, dan AS akan menyebabkan kontraksi lebih dari 20 persen dalam output energi Rusia dan dapat merugikan Rusia sebanyak US$300 miliar dalam penerimaan ekspor. Namun, hal ini tergantung pada perubahan harga energi.