Bisnis.com, JAKARTA - Jelang Ramadan, terpantau solar langka di sejumlah daerah. Antrean panjang kendaraan yang hendak mengisi solar terlihat di sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
Melihat hal tersebut, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati memaparkan biang kerok penyebab kelangkaan solar tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI hari ini, Senin (28/03/2022).
Menurut Nicke, kelangkaan solar subsidi ini disebabkan karena meningkatnya permintaan solar di masyarakat yang tidak dibarengi dengan peningkatan kuota solar subsidi pada tahun 2022. Nicke mencatatkan kuota solar subsidi pada 2022 ini dipangkas dibandingkan dengan tahun lalu.
“Konsumsi BBM solar bersubsidi mencapai 10 persen di atas kuota bulanan yang hanya 5 persen,” beber Nicke.
Pertamina mencatat, penyaluran per Februari 2022 mencapai 2,49 juta kl atau berlebih sekitar 227.580 kl dari kuota bulanan. Kondisi ini pun terjadi untuk seluruh daerah kecuali Maluku dan Papua.
Nicke memproyeksikan konsumsi solar akan mengalami peningkatan hingga akhir tahun. Sehingga penambahan kuota demi menjamin ketersediaan BBM Solar Subsidi sampai akhir tahun perlu dilaksanakan, seiring prediksi peningkatan konsumsi untuk tahun 2022.
"Kami prediksi akan naik ke 16 juta kl. Jadi sampai akhir tahun ada peningkatan 14 persen. Tapi kuota solar subsidi ditargetkan hanya 14,9 juta kl saja,” ungkap Nicke.
Lebih lanjut, Nicke mengungkapkan hal lain yang menjadi biang kerok kelangkaan solar, yakni peningkatan konsumsi BBM solar bersubsidi. Saat ini porsi konsumsi BBM Solar bersubsidi mencapai 93 persen dari total konsumsi jenis BBM Solar. Sementara BBM Solar non subsidi konsumsinya hanya mencapai 7 persen.
Sehingga Nicke menemukan adanya anomali konsumsi dan ada dugaan peralihan konsumsi oleh industri atau pihak yang sebenarnya tidak berhak mengkonsumsi BBM Solar Bersubsidi.
Terlebih, saat ini disparitas (selisih) harga antara BBM Solar subsidi dan non subsidi kian tinggi. Menurut hitung-hitungan Pertamina, selisih harga saat ini mencapai Rp 7.800 per liter.
"Ini kita duga dan ini kelihatannya karena penjualan Solar non subsidi itu turun, penjualan subsidi naik padahal industri naik jadi memang semuanya kesana [shifiting product]," pungkas Nicke.
Nicke melanjutkan, antrean Solar bersubsidi banyak terjadi di daerah industri sawit dan pertambangan.
"Antrian ini banyak yang dari industri sawit dan tambang. Kita duga banyak yang pakai solar subsidi. Dan ini kelihatannya, penjualan solar non subsidi turun, solar subsidi naik, padahal industri naik," jelasnya.
Meski konsumsi solar subsidi sudah melebihi kuota, pihaknya menegaskan Pertamina tetap memasok solar.
"Industri kan tumbuh, kita tetap suplai, meski sudah overkuota [solar subsidi]," tandasnya
Dengan demikian, menurut Nicke diperlukan petunjuk teknis dari pemerintah terkait siapa saja yang berhak mengonsumsi solar subsidi dan volumenya. Sehingga diperlukan regulasi dengan level Keputusan Menteri untuk memastikan pihak-pihak yang berhak mengkonsumsi BBM solar sersubsidi dan juga besaran kuota maksimum untuk setiap konsumen.