Bisnis.com, JAKARTA - Produksi biodiesel tembus 64,14 juta barel, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas lewat implementasi biodiesel.
Kebijakan program mandatori biodiesel telah menunjukkan perkembangan menjanjikan, sehingga hal ini akan meningkatkan produksi biodiesel di Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan program mandatori biodiesel a merupakan inisiatif dan pencapaian yang luar biasa.
“Bersama dengan negara-negara produsen minyak sawit lainnya, kami ingin menunjukkan mandatori biodiesel sebagai bagian dari event Road to G20 yang diadakan bersamaan dengan meeting G20 Energy Transitions Working Group di Yogyakarta,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam sambutannya secara virtual pada acara 3rd Palm Biodiesel Conference 2022, dikutip Jumat (25/03/2022).
Menko Airlangga menegaskan kembali bahwa Indonesia berkomitmen mempercepat transisi energi bersih melalui kebijakan biodiesel. Komitmen menggunakan minyak sawit sebagai bahan dasar biofuel akan mendukung Indonesia mencapai target keamanan energi dan bauran energi sebesar 23 persen di 2025.
Dalam 21st United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) 2015 di Paris, Presiden Joko Widodo juga telah menyatakan determinasi Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen melalui business as usual pada 2030, dan bisa mencapai 41 persen jika mendapatkan bantuan pihak internasional.
Baca Juga
“Industri minyak sawit siap mendukung visi tersebut, karena penggunaan B30 di 2021 saja diperkirakan sudah menurunkan emisi GRK sebanyak 24,6 juta ton CO2, dan jumlah ini setara dengan 7,8 persen dari target pencapaian energi terbarukan di 2030,” tegas Airlangga.
Produksi B30 di 2021 mencapai sekitar 9,4 juta kiloliter atau setara dengan 64,14 juta barel. Konversi dari CPO ke B20 telah meningkatkan nilai tambah hingga Rp13,19 triliun, untuk menjaga cadangan devisa senilai US$2,64 miliar, dari pengurangan impor bahan bakar fosil.
“Saya ingin menekankan peran kebijakan biodiesel yang berpengaruh terhadap ekonomi, misalnya untuk memenuhi permintaan dalam negeri, penciptaan lapangan kerja, ekonomi hijau, stabilitas harga minyak sawit, dan pendapatan petani kecil, yang nantinya akan berkontribusi dalam pencapaian United Nations 2030 Sustainable Development Goals,” sambungnya.
Dikatakan Menko Airlangga, pengembangan biofuel tidak akan berhenti sampai B30 saja, tetapi juga tetap dikejar agar green fuel dapat menggantikan minyak diesel, lalu green gasoline dapat menggantikan gasoline, dan bioavtur dapat menggantikan fossil avtur.
Indonesia juga akan semakin memperkuat strategi melalui kerjasama dengan negara-negara produsen minyak sawit lainnya dan menyoroti kemajuan serta kepemimpinan negara produsen utama seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Kolombia. Hal ini akan menguatkan mandat biodiesel sebagai bagian penting dalam industri minyak sawit.
“Saya juga ingin mendorong Council of Palm oil Producing Countries (CPOPC) supaya terus berkolaborasi dengan industri dan asosiasi, dalam penguatan kerja sama dengan negara produsen lainnya maupun negara konsumen, untuk memprioritaskan mandat biodiesel ke ke depannya. Mari kita gencarkan upaya dalam membangun pemahaman yang sama, dan juga penerimaan dari negara-negara konsumen, untuk menggunakan biodiesel berbasis kelapa sawit, karena ini berkelanjutan, bersih, dan terbarukan,” tutup Menko Airlangga.
Senada dengan Menko Airlangga, Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia, Datuk Zuraida Kamarudin menegaskan pentingnya industri sawit sebagai bahan baku biodiesel guna mengembangkan industri ramah lingkungan.
"Kerjasama riset antara negara-negara produsen sawit, terutama Indonesia, Malaysia, dan Colombia untuk meningkatkan produksi CPO yang berkelanjutan," ujar Zuraida.
Direktur Eksekutif Council of Palm oil Producing Countries (CPOPC) Tan Sri Datuk Yusof Basiron, menyambut baik dukungan pemerintah Indonesia dan Malaysia tersebut. Pasalnya, implementasi CPO untuk biodisel tidak hanya membawa keuntungan ekonomis, tetapi juga mengurangi kemiskinan di negara-negara produsen sawit.
"Implementasi ini penting bagi penghidupan petani-petani kecil. Karena melibatkan mereka dalam rantai pasoknya," pungkas Basiron.