Pengakuan mengejutkan disampaikan oleh Menteri Perdagangan M. Lutfi. Di depan para wakil rakyat, Lutfi berterus terang tidak mampu menormalisasi harga minyak goreng. Harga minyak goreng di pasar tetap tinggi, jauh dari harga eceran tertinggi (HET) yang diatur Kementerian Perdagangan.
Secara heroik dia menyebut ada mafia minyak goreng yang mengambil keuntungan pribadi sehingga berbagai kebijakan pemerintah tumpul di pasar. Lutfi mengakui bila kewenangan kementerianannya amat terbatas. Oleh karena itu, dia menggandeng Satgas Pangan Polri untuk menindak mafia dan spekulan minyak goreng.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi 4, 2013), mafia merupakan ”perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal)”. Merujuk definisi itu, tentu tak tepat menyematkan kata ”mafia” pada minyak goreng.
Barangkali yang dimaksud Lutfi adalah kartel, yakni kerja sama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengoordinasi kegiatannya, sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang/jasa untuk meraih keuntungan di atas tingkat yang wajar. Kartel secara klasik dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni harga, produksi, dan wilayah pemasaran.
Mudah didefinisikan, tetapi kartel tidaklah mudah dibuktikan. Apalagi, sebagian besar praktik kartel dilakukan secara diam-diam. Inilah yang membuat otoritas pengawas seringkali kesulitan mendapatkan bukti-bukti sahih guna menyeret pelaku kartel.
Bahkan, sampai saat ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) belum berhasil menghukum semua pelaku kartel. Karena keterbatasan ini, muncul pengulangan-pengulangan modus masa lalu: tiap ada masalah muncul budaya “melempar batu sembunyi tangan” (pointing finger) dan kambing hitam (scape goat). Kartel dan mafia pangan selalu jadi sasaran.
Baca Juga
Untuk minyak goreng, perilaku kartel para produsen sudah pernah dihukum oleh KPPU pada 2012. Saat itu 20 pabrik minyak goreng dinyatakan terbukti melakukan kartel harga dan melanggar Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 11 UU No. 5/1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Akibat praktik itu, masyarakat dirugikan Rp1,27 triliun untuk minyak goreng kemasan bermerek dan Rp374,3 miliar untuk minyak goreng curah. Namun, di tingkat banding dan kasasi, vonis ini dibatalkan karena bukti-bukti tak langsung KPPU tak dikenal dalam hukum acara pengadilan umum. Walaupun, dari keadilan dan kemanfaatan buat publik, vonis KPPU lebih tepat (Wintansari, 2020).
Menurut KPPU, saat ini ada empat grup produsen raksasa minyak goreng menguasai 46,5% pasar. Mereka ini menguasai usaha hulu-hilir: dari perkebunan, pengolahan CPO hingga pabrik minyak goreng. Dengan pasar oligopolis ini mereka leluasa mendikte pasar.
Oleh karena itu, tidak heran meskipun dari tiga kebijakan—lewat wajib pasok kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) CPO dan olein, wajib harga domestik (domectic price obligation/DPO), dan HET minyak goreng—yang berlaku 1 Februari 2022 bisa mengumpulkan 720.612 ton dari 3,5 juta ton ekspor CPO, negara tetap tak berdaya. Dengan jumlah ini, pasar mestinya banjir minyak goreng. Tapi itu tak terjadi.
Minyak goreng “hilang di pasar” karena struktur pasar industri minyak goreng jauh dari sempurna. Begitu HET dicabut atau harga minyak goreng kemasan (sederhana dan premium) dilepas ke pasar per 16 Maret 2022, minyak goreng kemasan tiba-tiba membanjir. Ini berarti ketika tripel kebijakan (DMO, DPO, dan HET) diberlakukan 1 Februari 2022, ada pihak-pihak yang menahan stok.
Upaya melibatkan Satgas Pangan belum membuahkan hasil memadai. Ironisnya, negara yang seharusnya hadir mengoreksi pasar, termasuk menyeret spekulan dan penimbun ke meja hukum, justru bertekuk lutut.
Bagi Indonesia, kartel pangan bukanlah hal baru. Politik otoritarian dan kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan elite penguasa dan para sekondannya telah menciptakan kapling-kapling ekonomi hanya oleh segelintir pelaku. Praktik buruk di era Orde Baru itu terus bermetamorfosa di era Reformasi, dan dilakukan turun-temurun dari generasi ke generasi.
Tidak mengherankan bila sebagian besar kartel pangan berubah jadi amat struktural, bagai tembok kedap air. Meskipun sudah dihukum tahun 2006, praktik kartel garam kembali terulang tahun 2015.
Pelaku ”jual-beli” kuota impor daging sapi ditangkap dan dihukum 2013, tetapi harga daging sapi sampai sekarang masih mahal. Kondisi serupa bukan mustahil masih melekat dalam tata niaga minyak goreng sawit.
Kartel pangan tumbuh subur di negeri ini bukan hanya karena kue ekonomi dan peluang keuntungannya amat besar, tetapi juga didorong oleh kecenderungan perilaku pelaku ekonomi untuk menjadi pemburu rente (rent seekers), lemahnya penegakan aturan main dan pengawasan, serta buruknya aransemen kelembagaan dan kualitas kebijakan (ekonomi).
Akibatnya, hampir pada setiap jengkal aktivitas ekonomi pangan, baik yang pasarnya diatur maupun yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, selalu muncul peluang terjadinya kartel pangan. Ini terutama terjadi pada komoditas-komoditas pangan penting yang kue ekonominya amat besar: beras, jagung, kedelai, terigu, gula, daging, dan gula. Kartel kian menggila apabila produksi domestik tidak mencukupi.